Senin, 26 November 2018

Panggilan Hidup Manusia (Handout Kelas XII Bab I)

BAB I
PANGGILAN HIDUP SEBAGAI UMAT ALLAH

KOMPETENSI DASAR
1.1.   Menghayati panggilan hidupnya sebagai umat Allah (Gereja) dengan menentukan langkah yang tepat dalam  menjawab panggilan hidup tersebut
2.1. Berperilaku tanggung jawab  pada  panggilan hidupnya sebagai umat Allah (Gereja) dengan menentukan langkah yang tepat dalam  menjawab panggilan hidup tersebut
3.1 Memahami panggilan hidupnya sebagai umat Allah (Gereja) dengan menentukan langkah yang tepat dalam  menjawab panggilan hidup tersebut
4.1 Melaksanakan panggilan hidupnya sebagai umat Allah (Gereja) dengan menentukan langkah yang tepat dalam  menjawab panggilan hidup tersebut

A.    PEMAKNAAN HIDUP
Manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Allah yang Maha Kuasa dengan segala rencana-Nya, yakni karya keselamatan dalam hidupnya. Manusia menjadi objek dan subjek dari rencana Tuhan itu. Oleh karena itu, pribadi manusia mempunyai peran sentral bagi terwujudnya Kerajaan Allah. Dengan demikian manusia dipanggil untuk ikut serta bekerja bersama Allah, mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Itulah makna dari panggilan hidup manusia.
Sejak awal mula, manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, memiliki  kesempurnaan yang paling tinggi di banding mahkluk ciptaan yang lain. Itu menunjukkan bahwa manusia adalah harta kesayangan Allah, mahkluk paling sempurna, dipanggil dan diikutsertakan dalam karya Allah, yakni mengembangkan dan menyempurnakan kehidupan. Oleh karena itu, hidup manusia semata-mata merupaka anugerah Allah yang harus dipertanggungjawabkan. Ada tiga kategori bentuk pertanggungjawaban atas hidup manusia, yakni mempertahankan hidup (menghormati, menjaga, merawat, memelihara hidup)
Contoh: makan teratur dengan menu yang sehat, olahraga teratur, menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan tempat tinggal, menghormati dan menjaga hidup oranglain.
memaknai hidup (berperanan, aktivitas, karya, pelayanan)
Contoh: ikut kegiatan gereja/keagamaan, menjadi pelayan gereja (misdinar, choir, singer, lektor, dsb), menjadi anggota gerakan sosial,  menjadi relawan kemanusiaan, dsb.
mengembangkan hidup (mencapai kemajuan, prestasi, belajar tiada henti)
      Contoh: mengikuti kejuaraan/kompetisi/pertandingan, menjadi juara di bidang akademis, menjadi enterpreuner sebari sekolah, aktif dalam kegiatan seminar/pengembangan diri.
Pada prinsipnya, hidup yang merupakan anugerah itu harus disyukuri dan dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya. Sebagaimana diungkapkan oleh Santo Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Roma (Rom.14: 10-12) sebagai berikut:

10 Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. 11 Karena ada tertulis: "Demi Aku hidup, demikianlah firman Tuhan, semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku dan semua orang akan memuliakan Allah." 12 Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah.


Simaklah syair lagu “Masih ada Waktu” (Ebiet G Ade) berikut ini:
Bila masih mungkin kita menorehkan batin,atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas,Mumpung masih ada kesempatan buat kita, Mengumpulkan doa perjalanan abadi.
Kita mesti ingat tragedi yang memilukan, Kenapa harus mereka yang pergi menghadap
Tentu ada hikmah yang harus kita petik,Atas nama jiwa mengheningkan cipta.

**. Kita meski bersyukur, Bahwa kita masih di beri waktu, Entah sampai kapan, Tak ada yang dapat menghitung
Hanya atas kasihNya, Hanya atas kehendakMu,Kita masih bertemu matahari, Kepada rumput ilalang
Kepada bintang gemintang, Kita dapat mencoba meminjam catatannya

Sampai kapan kita berada, Waktu yang masih tersisa,Semuanya menggeleng, Semuanya terdiam
Semuanya menjawab tak mengerti,Yang terbaik hanyalah segeralah bersujud, Mumpung kita masih diberi waktu
(kembali ke **)
Syair lagu tersebut mengingatkan kita bahwa hidup ini hanyalah sementara, dan merupakan kesempatan untuk “mengumpulkan bekal” menuju kehidupan yang bersifat abadi. Kita perlu menyadari bahwa antara kelahiran (awal hidup) dan kematian (akhir hidup) terdapat kenyataan, peluang/kesempatan, tawaran, kemungkinan dan segala dinamika yang amat komplek dalam hidup ini. Itulah moment kehidupan yang perlu kita isi dan kita maknai sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada Sang Pencipta. Dalam rangka pemaknaan hidup, kita dapat menentukan sikap, pilihan atau komitmen terkait dengan status hidup maupun bidang profesi atau karier. Pilihan itu kita tempatkan dalam rangka menanggapi panggilan Tuhan. Untuk menanggapi panggilan hidup inilah, kita akan mengenal dan memahami panggilan hidup berkeluarga, panggilan hidup membiara dan panggilan karya/profesi.

Pendalaman Refleksi:
1.      Apakah maksudnya bahwa hidup ini adalah anugerah?
2.      Hidup yang adalah anugerah ini harus dipertanggungjawabkan kepada sang Pemberi Hidup. Jelaskan dan beri contoh bentuk-bentuk pertanggungjawaban atas hidup ini!
3.      Jelaskan apa yang dimaksud Panggilan Hidup?
4.      Sebagai gambaran awal, cobalah uraikan kehidupan seperti apa yang ingin kamu jalani! Cita-cita, mimpi, harapan seperti apa yang ingin kamu capai dalam kehidupanmu!


B.     PANGGILAN HIDUP BERKELUARGA
Hidup berkeluarga atau perkawinan bagi orang dewasa merupakan pilihan jalan hidup. Perkawinan adalah persekutuan yang khas antara laki-laki dan perempuan di mana mereka saling mengisi dan menyempurnakan, sehingga mereka dapat menjadi kepala keluarga dan hati keluarga yang penuh demi mencapai kebahagiaan. Hidup berkeluarga yang diawali dengan perkawinan merupakan panggilan hidup, yakni panggilan untuk menjadi rekan kerja Allah dalam melangsungkan karya penciptaan-Nya demi perkembangan hidup dan berlangsungnya generasi hidup manusia.
Perkawinan merupakan persekutuan cinta antara pria dan wanita yang secara sadar dan bebas menyerahkan diri beserta segala kemampuannya untuk selamanya. Dalam penyerahan itu suami istri berusaha makin saling menyempurnakan dan saling membantu.  Hanya dalam suasana saling menghormati dan menerima inilah, dalam keadaan manapun juga, persekutuan cinta dapat berkembang hingga tercapai kesatuan hati yang dicita-citakan.
1.      Berbagai pandangan tentang perkawinan:
a.      Pandangan Tradisional: Perkawinan adalah ikatan antara laki-laki dan perempuan, antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.
b.      Pandangan Sosial: Perkawinan adalah persekutuan hidup yang mempunyai bentuk, tujuan dan hubungan yang khusus. Suami-istri akan mencapai kesempurnaan dan kepenuhannya sebagai manusia. Menjadi bapak dan ibu dan hidup di tengah masyarakat.
c.      Pandangan Hukum: Perkawinan adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan, dan perjanjian antara kerabat laki-laki dan kerabat perempuan. Perjanjian di depan masyarakat agama dan Negara yang membuat perkawinan menjadi SAH.
d.      Pandangan Antropologis: Perkawinan adalah persekutuan CINTA; sebuah jalinan persekutuan yang diawali dengan CINTA, berkembang atas dasar CINTA dan bahagia karena CINTA.
2.      Makna Hidup Berkeluarga
Keluarga adalah sekolah kemanusiaan. Namun supaya kehidupan dan perutusan keluarga dapat mencapai kepenuhan, dituntut komunikasi batin yang baik, yang ikhlas dalam pendidikan anak. Keluarga adalah tempat pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan.
a.      Tugas dan tanggungjawab seorang suami/bapak
Suami sebagai kepala keluarga: harus bisa memberi nafkah lahir-batin kepada istri dan keluarga. Mencari nafkah adalah tugas pokok seorang suami, sedapatnya tidak terlalu dibebankan kepada istri dan anak-anak. Maka seorang suami harus memiliki pekerjaan. Suami sebagai partner istri, suami hendaknya menjadi mitra dari istrinya. Pada masa sekarang inibanyak wanita yang menjadi wanita karier, maka perlulah suami menjadi pendamping, penyokong dan pemberi semangat baginya. Suami sebagai pendidik, tugas mendidik anak bukan hanya tanggunggjawab istri/ibu, melainkan juga tanggungjawab suami/bapak. Sosok ayah bagi seorang anak tidak pernah tergantikan. Ayah menjadi figure teladan/panutan bagi anak-anaknya.
b.      Tugas dan tanggung jawab seorang istri/ibu
Istri sebagai hati dalam keluarga. Sebagai hati keluarga, istri/ibu menciptakan suasana kasih sayang, ketentraman, keindahan, dan keharmonisan dalam keluarga. Istri sebagai mitra dari suami. Sebagai mitra, istri dapat membantu suami dalam tugas dan kariernya. Bantuan yang dimaksudkan disini seperti memberikan sumbangan saran, dan dukungan moril. Istri sebagai pendidik, ibu/istri merupakan pendidik yang pertama dan utama dari anak-anaknya.  Hal ini berarti ibu adalah pendidik yang ulung.
c.      Kewajiban anak terhadap Orangtua
Beberapa hal dasar yang menjadi kewajibananak terhadap orangtua adalah: mengasihi orangtua, bersikap dan berperilaku penuh syukur serta bersikap/berperilaku hormat kepada orangtua.
3.      Cinta Kasih dalam Keluarga
Pentingnya cinta dalam hidup manusia. Inti ajaran Kristen adalah Cinta KAsih. “Hendaknya kamu saling mencintai seperti Aku telah mencintai kamu” (Yoh.15:12). Cinta membahagiakan orang dan memungkinkan manusia berkembang secara sehat dan seimbang. Cinta yangjujur dan persahabatan sejati antar manusia memungkinkan perwujudan diri yang sehat dan seimbang, menghindar gangguan psikis dan dapat menyembuhkan orang yang menderita sakit jiwa.
Membina cinta dalam keluarga. Tujuan perkawinan pertama-tama adalah membina cinta kasih ntara suami-istri, menjalin hubungan perasaan yang mesra antara kedua partner yang ingin hidup bersama untuk selama-lamanya.

  PERTANYAAN  REFLEKTIF
1.      Apa makna keluarga bagi Anda!
2.      Apa manfaat komunikasi dalam keluarga!
3.      Apa peran suami/bapak, istri/ibu serta anak dalam keluarga?
4.      Apakah pandangan sosial mengenai perkawinan?
5.      Jelaskan pentingnya cinta kasih dalam keluarga!


C.    PERKAWINAN  DALAM TRADISI KATOLIK
Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita dalam agama apapun merupakan suatu peristiwa kehidupan yang sangat sakral. Karena itu tidak boleh dinodai atau dikhianati oleh siapapun dengan motif apapun. Sayang sekali dalam masyarakat, kita sering mendengar atau menyaksikan pertikaian antara pasangan suami-istri yang menimbulkan keretakan hubungan antar mereka. Tak jarang relasi suami-istri yang sangat pribadi itu dibawa ke ranah publik, terutama para pesohor, entah artis, politisi, dan tokoh masyarakat dijadikan konsumsi publik melalui infotainment di televisi atau media sosial. Pemberitaan media mengenai kasus-kasus perkawinan dengan berbagai latar belakangnya itu, dapat menciptakan suatu pandangan dalam masyarakat bahwa perceraian suami-istri adalah hal yang biasa-biasa saja.
Bertitik tolak dari kasus-kasus perkawina macam itu, maka kita perlu memahami hakekat perkawinan itu sendiri. Hakikat perkawinan adalah persekutuan pria-wanita atas dasar cinta. Perkawinan juga harus dilihat sebagai panggilan Allah, suatu tanda dari cinta Allah kepada manusia dan cinta Kristus kepada gereja-Nya. Tak dapat disangkal bahwa banyak perkawinan menjadi kandas karena orang tidak pernah menganggapnya sebagai sebuah panggilan sehingga mereka tidak pernah mempersiapkan dengan sungguh-sungguh. Salah satu persiapan ialah usaha mengenal dan memahami arti dan makna perkawinan, tujuan serta sifat-sifat perkawinan, sehingga seseorang dapat menjalani panggilan hidup ini dengan sadar dan tepat.
Gereja Katolik secara tegas mengajarkan bahwa Perkawinan Katoik adalah sakramen, yaitu sebagai tanda cinta kasih Allah. Oleh karena itu setiap pasangan suami-istri harus menjaga kesucian perkawinan. Karena perkawinan itu merupakan tanda (sakramen) dari cinta kasih Allah dan Cinta Kristus, maka perkawinan bersifat tetap, tak dapat diceraikan, utuh, personal dan monogam. Sifat dasar perkawinan yang tidak dapat diganggu gugat adalah KESETIAAN. Kesetiaan merupakan sikap dasar yang harus dihayati oleh pasangan yang telah menerima sakramen perkawinan itu. Kesetiaan berarti suami-istri hidup bagi pasangannnya, menyerahkan diri secara total hanya kepada pasangannya, selalu dan dalam segala situasi. Kesetiaan adalah hal yang sangat utama dalam kehidupan perkawinan kristiani.


Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik.
Kitab Hukum Kanonik memuat hukum-hukum, aturan-aturan dalam perkawinan Katolik. Dalam kanon 1055 diungkapkan paham dasar tentang perkawinan gerejawi, yaitu:
1.     Perjanjian Perkawinan
Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi Yahudi, perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang membentuk (menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah. Konsekwensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.
2.   Kebersamaan Seluruh Hidup
Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae. “Consortium”: con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan senasib. Totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh perjanjian perkawinan.Suami istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat.
3.      Perkawinan sebagai Sakramen
Perkawinan Kristiani bersifat sakramental.Bagi pasangan yang telah dibabtis, ketika mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen
4.      Antara Pria dan Wanita
Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).
Sifat –Sfat Hakiki Perkawinan
Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus karena sakramen. Sifat hakiki ini menunjukkan bahwa perkawinan katolik berarti menjadi satu dan tak terceraikan. Hal ini mengacu pada sabda Yesus sendiri bahwa Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat.19: 6). Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri dalam perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak mengakui perceraian itu. Dengan demikian suami istri yang telah cerai itu,  di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi  dengan sah. Hal ini seringkali menimbulkan anggapan bahwa orang katolik yang sudah menikah sah secara katolik tidak bisa bercerai. Hal itu memang benar karena gereja Katolik tidak mengakui adanya perceraian, kecuali oleh karena kematian. Pasangan suami istri yang mengalami permasalahan perkawinan harus didampingi untuk tetap menjaga keutuhan perkawinan.  
Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci
Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27).Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman ‘penolong’ yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu ‘daging’ (Kej 2:24). Jadi persatuan laki-laki danperempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu….” (Kej 1:28).Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu: “Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk 10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang menjadi rencana Allah pada awalnya (Mat 19:8).Jadiperkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah. Allah adalah Kasih ( Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas).

Syarat Perkawinan Katolik Yang Sah
Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa syarat untuk menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah:
Syarat pertama. Perkawinan Katolik yang sah adalah jika ada perjanjian/kesepakatan (covenant, foedus).  Perkawinan yang diikat oleh seorang pria dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat dengan bebas dan sukarela, dalam arti tidak ada paksaandan tidak dihalangi oleh hukum kodrat atau Gereja. Kesepakatan kedua mempelai ini merupakan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan; sebab jika kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada perkawinan. Kesepakatan di sini berarti tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan, dan kesepakatan ini harus bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat yang datang dari luar.Jika kebebasan ini tidak ada, maka perkawinan dikatakan tidak sah.
Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan, diterima dan dilaksanakan dihadapan pastor/imam atau diakon yang bertugas atas nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan. Oleh karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka sakramen Perkawinan diadakan didalam liturgi resmi Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang terikat dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah mutlak perlu.
Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perkawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan. Persiapan ini mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-masing dan pelaksanaannya. Dalam masa persiapan tersebut, calon mempelai juga diajak memahami halangan-halangan yang membuat perkawinan tidak sah. Halangan-halangan pernikahan antara lain: impotensi, hubungan darah, terikat dengan perkawinan sebelumnya, dsb.


EVALUASI DAN PERTANYAAN  REFLEKTIF
1.     Jelaskan mengapa perkawinan Katolik disebut sebagai Sakramen!
2.     Mengapa Kesetiaan merupakan hal yang paling utama dalam perkawinan Katolik?
3.     Jelaskan makna perjanjian dalam perkawinan Katolik!
4.     Jelaskan pengertian consortium totius vitae!
5.     Sebutkan dan jelaskan syarat-syarat perkawinan katolik yang sah!
6.     Menurut pemahaman Anda, mengapa dalam perkawinan katolik pasangan suami istri yang mengalami permasalahan dalam hidup perkawinan mereka tidak mudah untuk mengurus perceraian?
7.     Tulislah sebuah surat untuk ayah/ibu mu yang berisi mengenai ungkapan syukur atas cinta dan kasih yang kamu rasakan dalam keluarga. Dan ungkapkan apa yang ingin kamu sampaikan kepadanya, terutama mengenai kehidupan berkeluarga yang sedang kalian alami saat ini. Harapan dan keinginanmu, mungkin juga keluhan dan usul mu untuk mereka!

D.    TANTANGAN HIDUP BERKELUARGA
Hidup berkeluarga di jaman modern ini mengalami berbagai tantangan yang semakin kompleks. Tantangan yang paling dirasakan justru muncul dari dasar perkawinan itu sendiri yaitu KOMUNIKASI. Menurut para tokoh pemerhati keluarga, komunikasi dalam keluarga/kehidupan rumah tangga, antara suami-istri dan anak-anak semakin berkurang karena kesibukan pekerjaan, dan terpisah oleh tempat yang jauh. 
Dalam era globalisasi dan modernisasi yang kian marak ini membawah pengaruh dan dampak baik yang positif maupun yang negatif dalam kehidupan keluarga-keluarga kristiani. Kehidupan keluarga tidak bisa lepas dari pengaruh nilai-nilai yang muncul dan yang dihidupinya.

Ada beberapa tantangan dan keperihatinan yang sedang terjadi saat ini:
1.      Komunikasi dalam Keluarga.
Di era teknologi yang maju dengan pesat dan canggih saat ini, komunikasi dalam keluarga justru seringkali menjadi persoalan. Masalah perselingkuhan yang berakhir dengan perceraian seringkali bermula dari pola komunikasi yang salah dalam relasi suami istri. Bahkan dalam sebuah keluarga, seringkali terjadi bahwa antara anggota keluarga jarang sekali berkomunikasi. Ironisnya mereka semua memiliki alat komunikasi yang canggih dengan banyak akun medsos untuk berkomunikasi. Tapi apa sebenarnya komunikasi itu?
Berkomunikasi berarti menyampaikan pikiran,dan  perasaan kita kepada orang lain. Berkomunikasi tentang hal-hal yang sama-sama diketahui dan dirasakan akan terasa jauh lebih mudah. Dalam berkomunikasi ada banyak hal yang harus diperhatikan, antara lain saling mendengarkan dan saling terbuka. Mendengarkan: Semua orang yang tidak tuli bisa mendengarkan. Tetapi yang bisa mendengar belum tentu pandai mendengarkan. Mendengarkan suatu komunikasi harus dilakukan dengan pikiran dan hati serta segenap indra diarahkan kepada si pembicara. Keterbukaan. Orang yang mau senantiasa tumbuh sesuai dengan jaman adalah orang yang terbuka untuk menerima masukan dari orang lain, merenungkannya dengan serius, dan mengubah diri bila perubahan dianggapnya sebagai pertumbuhan kearah kemajuan. Terbuka untuk menyatakan dan terbuka untuk mendengarkan. Terbuka untuk menyatakan diri dengan jujur, terbuka pula untuk menerima orang lain sebagaimana adanya.
Seorang pastor dalam sebuah kotbahnya pernah mengatakan bahwa keutuhan dan keharmonisan dalam keluarga bisa tetap terjaga bila ada komunikasi yang baik, setidaknya masih ada 3 kata yaitu: tolong, terima kasih dan maaf. Tiga kata itu merupakan ungkapan kerendahan hati serta kerelaan menghargai semua anggota keluarga.

2.      Persoalan tentang Kontrasepsi, Aborsi, dan Sterilisasi
Pemerintah mempromosikan adanya program Keluarga Berencana (KB) dengan tujuan tercapainya kesejahteraan dalam keluarga. Dengan program KB, kesehatan ibu dapat lebih dijamin, relasi suami istri semakin kaya, taraf hidup lebih ditingkatkan, pendidikan anak lebih terjamin dan tercapainya kesejahteraan masyarakat secara umum.
Gereja Katolik memandang program Keluarga Berencana (KB) dapat diterima. Namun, cara melaksanakannya harus diserahkan sepenuhnya kepada tanggung jawab suami-istri, dengan mengindahkan kesejahteraan keluarga. Gereja Katolik menyatakan bahwa KB pertama-tama harus dipahami sebagai sikap tanggung jawab. Pelaksanaan pengaturan kelahiran harus selalu memperhatikan harkat dan martabat manusia serta mengindahkan nilai-nilai agama dan social budaya yang berlaku dalam masyarakat. Keluarga katolik harus memperhatikan dan memahami penggunaan serta cara kerja alat-alat yang digunakan dalam program KB. Misalnya alat-alat kontrasepsi seperti kondom, suntik, pil KB dan IUD (spiral), harus benar-benar dipahami cara kerja dan efek dan penggunaan alat tersebut.
”Sejauh ini Gereja Katolik menganjurkan umat melaksanakan program KB dengan cara pantang berkala (tidak melakukan persetubuhan saat masa subur) atau sering disebut pula dengan istilah KB Alamiah. Dengan menerapkan KB Alamiah, pasangan diharapkan untuk dapat lebih saling mengasihi dan memperhatikan. Pantang berkala pada masa subur istri dapat diisi dengan mewujudkan kasih dengan cara yang lebih sederhana dan bervariasi. Suami lebih mengenal istri dan peduli akan kesehatan istri.

3.      Rapuhnya nilai kesetiaan dari perkawinan katolik.
Di abad yang serba praktis ini dengan arus hidup yang hedonisme, konsumeris, materialis ada sebagian kelurga kristiani yang mengalami persoalan di dalam menghayati nilai- nilai dasar perkawinan katolik. Ini berkaitan dengan penghayatan terhadap nilai monogami (kesatuan) perkawinan dan kesetiaan yang utuh terhadap pasangan hidup. Misalnya adanya perselingkuhan, praktek poligami bahkan sampai pada keputusan untuk berpisah ketika suasana kelurga tidak harmonis.

4.      Kemerosotan nilai-nilai penghayatan religius dalam keluarga,
Arus hedonis, konsumerisme, dan materialis membawah dampak yang luar biasa bagi penanaman dan penghayatan nilai-nilai religiusitas di dalam keluarga. Irama hidup keluarga hanya disibukan dengan kegiatan yang jauh dari dari hal-hal rohani. Misalnya menonton TV dan VCD, bermain HP, game online, dsb. Sehingga aktivitas rohani berupa doa pribadi, doa bersama, dan sharing masalah iman dalam keluarga sering terabaikan

5.      Beban ekonomi biaya tinggi yang harus di hadapi oleh keluarga- keluarga moderen dewasa ini
Globalisasi yang kuat ditandai dengan sistim persaingan kekuatan- kekuatan ekonomi antar Negara dengan sistim pasar bebasnya yang membawah dampak dalam kehidupan social, ekonomi keluarga dewasa ini. Hal ini harus membuat keluarga hidup dengan biaya ekonomi tinggi. Ekonimi biaya tinggi ini terjadi di segala sector: baik kebutuhan pokok, pelayanan jasa transportasi, pendidikan maupun berbagai pelayanan public. Ekonomi dengan biaya tinggi sering menimbulkan tekanan baik psikis maupun fisik yang bisa menjadi sumber kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam menghadapi tantangan dan keperihatinan aktual saat ini, gereja mempunyai beberapa harapan-harapan terhadap keluarga- keluarga kristiani, antara lain:
1. Keluarga yang mau di bangun harus dipersiapkan dengan baik.
Maksudnya bahwa ada persiapan menjelang perkawinan yaitu:
a.      Persiapan Jauh. Persiapan sejak masa kanak-kanak terutama dengan pendidikan nilai, baik nilai manusiawi maupun nilai-nilai kristiani pada khususnya.
b.      Persiapan dekat. Hidup keluarga hendaknya disiapkan secara intensif sejak masa pacaran. Pemuda dan pemudi yang dalam tahap pacaran harus di dampingi secara bijaksana agar mereka dapat berpacaran dengan sehat. Hendaknya dalam masa pacaran mereka diharapakan lebih mengenal dengan baik keperibadian dari dari pasanganya masing-masing.
c.      Persiapan akhir. Beberapa bulan menjelang pernikahan calon pengantin disiapkan secara lebih intensif lewat kursus persiapan perkawinan, penyelidikan kanonik dan pengumuman nikah.
2. Keluarga didasarkan pada perkawinan yang sah 
Hal ini antara lain berarti: bahwa ke dua mempelai harus mengawali hidup berkeluarga mereka dengan upacara peneguhan perkawinan sesuai dengan hukum gereja, seperti termuat dalam kitab hukum kanonik dari kanon 1108- 1123.
3. Keluarga menjadi komunitas hidup dan kasih
Gereja berharap bahwa keluarga menjadi komunitas kehidupan dan kasih yang ditandai oleh sikap hormat dan syukur terhadap anuhgerah kehidupan serta kasih dari semua anggotanya.
Sumber:
1.      Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII, Buku Guru, 2015
2.      Br. Urbanus, Msf.S.Ag dalam msfmusafir.wordpress.com/2009/02/27/tantangan-dan-keperihatinan-yang-aktual-dalam-hidup-keluarga.
3.      http://bidan-raka.blogspot.co.id/2010/06/kb-dalam-pandangan-gereja-katolik.html

EVALUASI DAN PERTANYAAN  REFLEKTIF
1.      Sekarang ini kasus-kasus perselingkuhan dan perceraian marak terjadi di lingkungan sekitar kita, bahkan diantara keluarga kita sendiri. Menurut Anda apa penyebab kasus-kasus tersebut dan bagaimana mencegah terjadinya kasus perselingkuhan dan perceraian tersebut!
2.      Jelaskan pandangan Gereja Katolik mengenai Keluarga Berencana dan metode apa yang dianjurkan oleh Gereja Katolik dalam melaksanakan program KB!
3.      Ada sebagian orang berpendapat bahwa hubungan seks di luar nikah/sebelum nikah adalah hal yang biasa terjadi. Bahkan di kalangan kaum muda, seks pada saat berpacaran sudah menjadi trend. Tetapi para psikolog dan orangtua berpendapat bahwa seks sebelum nikah akan mengurangi kualitas pernikahan dan membuat pernikahan tidak harmonis/bertahan lama. Apalagi pasangan saat menikah bukanlah orang yang sama pada saat berpacaran sehingga berdampak pada kurangnya kesetiaan suami istri.  Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?


E.     PANGGILAN HIDUP MEMBIARA
Dalam kehidupan umat beragama katolik diakui dan diyakini bahwa hidup membiara merupakan panggilan hidup. Hidup membiara merupakan salah satu bentuk hidup selibat (tidak menikah) yang dijalani oleh mereka yang dipanggil untuk mengikuti Kristus secara tuntas/total. Dengan kata lain orang yang menjalani hidup selibat adalah orang yang terpanggil untuk mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan. Menjadi seorang Pastor, Suster, atau Bruder merupakan jawaban atas panggilan Tuhan untuk melayani dan menguduskan dunia. Contoh sederhana dapat kita lihat dalam lingkungan sekolah kita. Sekolah kita berlindung pada seorang tokoh bernama Santa Theresia, seorang suster yang dilahirkan di kota Alencon, Perancis pada 2 Januari 1873. Teladan hidupnya berupa kesederhanaan dan CINTA menjadikan kehidupan santa Theresia menjadi bermakna dan berkat bagi orang lain. Dalam menjalankan misi pelayanan pendidikan, sekolah-sekolah Theresiana juga dipimpin oleh seorang pastor yaitu Rm. Marcellinus Roselawanto, Pr sebagai Direktur dan Bruder Yulius Suratno, CSA sebagai Wakil Direktur. Mereka menjalani hidup selibat (tidak menikah), serta menghayati tiga nasihat Injil yaitu kemurnian, ketaatan dan kemiskinan.
Hidup membiara ditandai dengan pengucapan kaul (janji setia), yaitu kaul kemiskinan, kaul kemurnian dan kaul ketaatan. Dengan mengucapkan kaul kemiskinan, orang yang hidup membiara melepaskan haknya untuk memiliki harta benda duniawi. Dengan cara ini mereka lebih bisa memusatkan hidupnya semata-mata demi melayani Tuhan dan tidak lekat pada harta benda duniawi. Hal ini bukan berarti mereka tidak boleh menggunakan/memiliki harta benda duniawi, tetapi menggunakan sewajarnya demi mendukung pelayanannya. Dengan kaul ketaatan, seorang yang hidup membiara memutuskan untuk taat seperti Kristus yang taat pada kehendak Bapa-Nya. Ketaatan ini diwujudkan dengan melepaskan kemerdekaannya, kehendak bebasnya dan mengikuti kehendak pimpinan/pembesar dalam konggregasi. Dengan kaul kemurnian orang yang hidup membiara melepaskan haknya untuk hidup berkeluarga. Melalui hidup selibat (tidak menikah), mereka mengungkapkan kesediaan untuk mengikuti dan meneladan Kristus sepenuhnya serta membaktikan hidupnya secara total demi terlaksananya Kerajaan Allah.

F.     PANGGILAN PROFESI/KARYA
Manusia adalah mahkluk pekerja. Tanpa bekerja manusia kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Maka apapun pekerjaan manusia, asalkan halal, orang akan merasa dirinya bernilai dihadapan sesamanya. Sebaliknya orang-orang yang berada di usia produktif namun tidak bekerja akan merasa rendah diri dalam pergaulan masyarakat. Dalam ajaran agama Katolik, manusia diciptakan oleh Allah  dan diberi mandat untuk mengelola bumi. Dengan ini, hendaknya manusia menyadari, ketika ia melakukan pekerjaan, ia berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan. Itu berarti bahwa pekerjaan manusia mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah.
Arti Kerja:
Kerja adalah setiap kegiatan manusia yang diarahkan untuk kemajuan manusia, baik kemajuan jasmani maupun rohani. Kerja memerlukan suatu pemikiran. Kerja dengan sadar harus diarahkan kepada suatu tujuan tertentu. Pekerjaan merupakan suatu keistimewaan mahkluk yang berakal budi. Sebab, hanya manusialah yang dengan sadar dan bebas dapat mengarahkan kegiatannya kepada suatu tujuan tertentu.
Makna Kerja:
Makna ekonomis, bekerja dipandang sebagai pengerahan tenaga untuk menghasilkan sesuatu yang diperlukan atau diinginkan seseorang atau masyarakat. Dalam hal ini dibedakan menjadi pekerjaan produktif (pertanian, pertukangan, pabrik, dsb), pekerjaan distributive (perdagangan), dan pekerjaan jasa (guru, dokter, perawat, dsb).  Makna sosiologis, kerja merupakan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan sarana interaksi antar masyarakat. Makna antropologis, kerja memungkinkan manusia untuk membina dan membentuk diri dan pribadinya.
Tujuan kerja
1) Mencari nafkah. Kebanyakan orang bekerja untuk mencari nafkah, mengembangkan kehidupan jasmaninya dan mempertahankannya. Orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, untuk memperoleh kedudukan serta kejayaan ekonomis, yang menjamin kehidupan jasmaninya untuk masa depan. Nilai yang mau dicapai ini bersifat jasmani.
3) Memajukan teknik dan kebudayaan. Nilai yang mau dicapai ini lebih bersifat rohaniah. Dengan bekerja orang dapat memajukan salah satu cabang teknologi atau kebudayaan, dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling tinggi.
4) Menyempurnakan diri sendiri. Dengan bekerja manusia lebih menyempurnakan dirinya sendiri. Ia menemukan harga dirinya. Atau lebih tepat: ia mengembangkan kepribadiannya. Dengan kerja, manusia lebih memanusiakan dirinya

2 komentar: