Kamis, 10 Desember 2015

SURAT GEMBALA USKUP AGUNG JAKARTA
DALAM RANGKA HARI PANGAN SEDUNIA TAHUN 2015
“MERAWAT BUMI RAHIM PANGAN KITA”

Para Ibu dan Bapak, Suster, Bruder, Frater,
Kaum muda, remaja dan anak-anak yang terkasih dalam Kristus,
Setiap tanggal 16 Oktober Gereja Katolik ikut memperingati Hari Pangan Sedunia sebagai wujud keterlibatan Gereja di tengah keprihatinan dunia ini. Sehubungan dengan peringatan itu, baiklah kita merenungkan beberapa hal.
Dari kacamata iman kita, peringatan Hari Pangan dapat memperdalam kesadaran kita bahwa hidup yang diciptakan Allah adalah anugerah. Manusia diciptakan tidak hanya untuk sekedar hidup, melainkan untuk tumbuh dan berbuah. Kita pun mengimani bahwa Allah tidak hanya menciptakan lalu meninggalkan ciptaan-Nya begitu saja. Ia setia menyertai dan menguatkan, melalui makanan yang disediakan, maupun melalui kehadiran sesama dan seluruh alam ciptaan.
Tidak bisa kita ingkari bahwa bumi seisinya memberi makanan kepada manusia agar hidup, dan sekaligus hidup manusia diharapkan juga memberi kehidupan pada seluruh ciptaan. Tepatlah menyebut bumi sebagai ibu bumi, karena dari rahimnya mengalir kehidupan. Hal ini pun ditegaskan oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik yang berjudul Laudato si’ – Pujian bagi-Mu ya Tuhanku yang belum lama diterbitkan, bahwa bumi adalah rumah bersama yang perlu kita jaga. Bumi adalah sumber kehidupan kita.
Paus Fransiskus menuliskan ensikliknya dalam sebuah keprihatinan bahwa bumi ini makin rusak. Ada gejala pemanasan global yang mengacaukan keselarasan hidup manusia dan bumi. Ada kehancuran lingkungan yang mengakibatkan berbagai penderitaan. Dalam hal ini, Paus Fransiskus tidak mengada-ada, karena pernyataan-pernyataannya memang didukung data. Terkait dengan semua itu, Paus menyebut keserakahan manusia sebagai salah satu sumber dari berbagai bencana itu. Salah satu hal yang disebut Paus sebagai wujud keserakahan adalah “budaya mudah membuang” yang menjadi ciri orang jaman ini. Tidak hanya barang yang dibuang, tetapi juga makanan. Akibatnya, bukan hanya sampah yang menumpuk, tetapi juga pemborosan dan penderitaan banyak orang yang seharusnya berhak atas makanan yang dibuang itu. Baik kita ingat pula kata-kata Rasul Paulus, bahwa orang serakah adalah penyembah berhala (Ef 5:5).
Keprihatinan atas rusaknya bumi tidak hanya menjadi keprihatinan Paus. Terkait dengan hal ini, Perserikatan Bangsa-bangsa dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2015 yang lalu, mengangkat tema Mimpi dan Aksi Bersama untuk Keberlanjutan Kehidupan di Bumi. Tema ini jelas menunjukkan bahwa hidup seluruh manusia tergantung pada satu bumi, dan demi berlangsungnya hidup yang lebih baik di masa depan, bumi harus dijaga baik-baik.
Tema-tema yang mencerminkan keprihatinan pada kondisi bumi sungguh sangat relevan untuk Indonesia yang kita cintai. Salah satu yang paling kentara adalah pulau Jawa, yang dulu dikenal sebagai lumbung padi karena kesuburannya. Tetapi sekarang penduduk di pulau Jawa harus mendatangkan padi dari luar Jawa, bahkan dari luar negeri. Sekarang tampaknya situasi menjadi lebih buruk. Selama musim kemarau ini banyak daerah di Jawa yang mengalami kekeringan, termasuk beberapa daerah yang belum pernah mengalaminya. Data Perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa di Indonesia (30 Mei 2015) menyebutkan 19,4 juta penduduk Indonesia (7,9%) masih menderita kelaparan pada tahun 2014-2015.
Melihat semua hal itu, apakah kita mau berdiam diri? Apakah kita tidak mau mengubah kebiasaan kita? Paus dalam ensikliknya juga menegaskan agar kita melakukan pertobatan, terutama dari keserakahan kita. Beliau mengingatkan kita agar mewujudkan kepedulian itu antara lain dengan memasak dan menyediakan makan secukupnya, membeli atau mengambil makanan secukupnya, sehingga tidak membuang-buang makanan yang seharusnya menjadi hak orang lain, khususnya orang miskin. Lebih jauh, supaya bumi ini tetap terjaga dan tetap bisa menyediakan makanan untuk semua yang hidup di atasnya, kita perlu menjaganya, tidak mengotori atau merusaknya. Dalam hal ini kita juga ingat, bahwa pemakaian plastik dan styrofoam yang berlebihan akan membuat tanah dan air terpolusi.
Saudari-saudaraku yang terkasih,
Sabda Yesus yang kita dengarkan pada hari ini mengajak kita untuk menempatkan pesan “merawat bumi sebagai rahim pangan kita”, sebagai keprihatinan sekaligus tantangan iman kita. Ada sekurang-kurangnya dua hal yang menarik dalam kisah orang kaya ini (Mrk 10:17-27). Yang pertama, ketika menjawab pertanyaan orang kaya itu, Yesus mengutip bagian pertama kesepuluh perintah Allah. Tetapi Ia juga menyisipkan satu perintah yang tidak terdapat dalam kesepuluh perintah Allah itu, yaitu “jangan mengurangi hak orang” (ay 19). Kita diingatkan oleh Bapa Paus bahwa dengan membuang-buang barang atau makanan, pada dasarnya kita mengurangi hak orang lain. Yang kedua, ketika orang kaya itu mengatakan bahwa ia sudah melakukannya sejak mudanya, Yesus “memandang dia dan menaruh kasih kepadanya” (ay 21). Dengan melakukan itu Yesus ingin mengatakan kepada kita, bahwa orang kaya itu sebenarnya adalah orang baik. Mungkin dia tidak pernah secara sadar telah mengurangi hak orang lain. Tetapi budaya, sistem atau struktur masyarakat tempat ia hidup telah menjeratnya sedemikian rupa, sehingga tindakannya mengurangi hak orang lain tidak disadari atau dianggap biasa-biasa saja. Yesus ingin membantu orang kaya itu untuk keluar dari jerat budaya, sistem atau struktur itu dengan mengambil langkah radikal dan tindakan nyata berbagi harta dengan orang miskin (ay 21). Tetapi Yesus tidak berhasil meyakinkannya.
Kalau dibaca dengan kacamata Kitab Kebijaksanaan (7:7-11)  orang kaya itu bukan orang yang memiliki “pengertian” dan “roh kebijaksanaan”. Yang disebut “pengertian” dan “kebijaksanaan” memungkinkan orang melihat secara jernih “mempertimbangkan dengan cermat makna serta nilai hal-hal duniawi yang sesungguhnya, dalam dirinya maupun sehubungan dengan tujuan manusia” (Dekrit Tentang Kerasulan Awam No. 4). Dalam rangka Hari Pangan Sedunia, pengertian dan kebijaksanaan itu mewajibkan kita agar ikut memelihara bumi dengan berbagai macam cara yang mungkin ditempuh.
Jika demikian, apa yang bisa kita buat? Paus memberikan pesan yang sangat jelas agar kita ikut memelihara bumi sebagai rumah bersama. Dalam kaitan dengan makanan yang disediakan bumi, “rumah” lebih tepat disebut “rahim”. Tidak bisa tidak, demi kelangsungan hidup, rahim itu perlu sungguh dijaga bersama. Hal itu bisa dibuat dengan melakukan gerakan-gerakan kecil sebagaimana yang disebut oleh Paus seperti menghemat air dan sumber daya alam, mengurangi pemakaian plastik, menanam pohon, makan secukupnya, belanja sewajarnya, tidak ikut arus “budaya mudah membuang”.
Alangkah baiknya kalau dalam rangka menyambut Hari Pangan Sedunia 2015 setiap keluarga, komunitas, lingkungan atau lembaga-lembaga, bersama-sama  menjawab pertanyaan ini “Apa yang harus kita lakukan agar lingkungan hidup kita menjadi semakin manusiawi?”. Tindakan-tindakan kita sebagai wujud jawaban terhadap pertanyaan ini, sesederhana apa pun, akan menjadi berkat bagi bumi dan bagi kita semua. Upaya-upaya kecil itu menjadi bermakna karena dijiwai oleh iman, sehingga melalui gerakan itu pula iman kita bertumbuh dan berbuah. Dalam hal ini perlulah diingat bahwa Gereja bukan hanya sebuah organisasi. Gereja adalah gerakan iman dan cinta melalui aksi-aksi nyata yang terus berkelanjutan, baik yang dilakukan secara bersama maupun sendiri. Gerakan nyata itu tentu akan lebih bermakna jika didukung dan disatukan dengan doa. Karena itu, marilah kita memakai kesempatan bulan Rosario, bulan Oktober ini, untuk berdoa bersama dan seperti Maria, Bunda Gereja. Kita mohon agar kita mampu mencerna segala derita dunia dan tergerak melakukan sesuatu yang nyata.
Akhirnya,  bersama-sama dengan para imam, diakon dan semua pelayan umat, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para Ibu/Bapak/Suster/Bruder/adik-adik kaum muda, remaja dan anak-anak semua yang dengan beraneka cara terlibat dalam karya perutusan Gereja Keuskupan Agung Jakarta. Melalui gerakan Hari Pangan Sedunia kali ini, kita diajak untuk semakin peduli menjaga bumi. Kita berharap bahwa gerakan bersama ini akan berbuah lebat melalui perubahan sikap dan perilaku kita. Salam dan Berkat Tuhan untuk Anda semua, keluarga dan komunitas Anda.
Mgr. Ignatius Suharyo — Uskup Agung Jakarta

PENDALAMAN REFLEKSI
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut. Jawaban ditulis dikertas Folio. Dikumpulkan!
1.     Jelaskan alasan mengapa Gereja memperingati Hari pangan Sedunia!
2.     Jelaskan bukti bahwa Allah mencipta manusia tidak meninggalkan begitu saja melainkan setia menemani dan menguatkan manusia!
3.     Jelaskan mengapa dunia tempat tinggal kita ini disebut Rahim Bumi!
4.     Sebutkan apa saja keprihatinan Paus Fransiskus terhadap situasi bumi sekarang ini!
5.     Jelaskan apa yang menjadi penyebab dari kerusakan alam/bumi kita ini!
6.     Apakah arti kebijaksanaan menurut Mgr. Suharyo?
7.     Sebutkan hal-hal konkret yang dianjurkan oleh Paus sebagai keterlibatan kita dalam memelihara bumi!
8.     Tuliskan 2 hal konkret yang akan Anda lakukan agar lingkungan sekolah kita menjadi semakin manusiawi

Minggu, 29 November 2015

Rangkuman Materi Agama KelasXII Bab II: Memperjuangkan Nilai-Nilai Kehidupan Manusia


TUHAN, jadikanlah aku pembawa damai.
Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih.
Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan.
Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan.
Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran.
Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian.
Bila terjadi keputus-asaan, jadikanlah aku pembawa harapan.
Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang.
Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku pembawa sukacita.
Ya Tuhan Allah,
ajarlah aku untuk lebih suka menghibur daripada dihibur;
mengerti daripada dimengerti;
mengasihi daripada dikasihi;
sebab dengan memberi kita menerima;
dengan mengampuni kita diampuni,
dan dengan mati suci kita dilahirkan ke dalam Hidup Kekal.
Amin.
Doa dari Santo Fransiskus Asisi tersebut merupakan ajakan bagi kita semua untuk menjadi pembawa damai bagai sesama. Mengasihi sesama satu sama lain berarti menyertakan Allah dalam hidupnya, menyertakan Allah dalam hidupnya berarti mewujudkan keharmonisan, keindahan, sukacita kebahagiaan dan kedamaian untuk dirinya dan sesama.
Suka cita merupakan sikap “terima kasih” yang seutuhnya terhadap Allah karena dalam masa sulit dapat  merasakan kedamaian. Raihlah kedamaian dan suka cita dimulai dari diri sendiri dahulu demi mendapatkan Kasih Sejati Allah, ciptakan rasa bahagia mengiringi setiap langkah meniti hari demi hari menuju hari kemenangan. Jangan mengeluh atau berputus asa ketika ujian dan cobaan itu datang tetapi sikapi  ujian dan cobaan datang sebagai wujud kasih Allah menyertai agar manusia selalu mengingat-Nya berlapang hati dan bersikap rendah hati itu yang diinginkan Allah bagi mereka yang menerima ujian dan cobaan  seberat apapun bebannya jika diterima dengan hati lapang dan sikap rendah hati maka Allah akan memberikan rasa ringan dan damai dalam melalui masa sulitnya

A.    KEADILAN

Keadilan merupakan suatu kondisi yang didambakan setiap insan manusia. Adil berarti tidak berat sebelah, berpihak kepada yang benar atau berpegang pada kebenaran. Keadilan berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, baik itu hak asasi maupun hak sipil. De fakto, dalam kehidupan masyarakat, kita menemukan banyak praktek ketidakadilan, entah dari segi ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya. Semua tindakan itu menunjukkan bahwa masyarakat kita, sadar atau tidak , sering tidak menghormati hak milik orang lain. Contoh sederhana, misalnya kasus Nenek Minah warga Banyumas yang divonis bersalah karena mencuri 3 biji kakao milik PT. Rumpun Sari Antan, kasus Nenek Asiani warga Situbondo yang dituduh mencuri kayu, sementara penanganan kasus-kasus korupsi para pejabat pemerintahan terkesan lambat dan berbelit-belit. Inilah yang seringkali menjadi sindiran bahwa keadilan di negeri ini “tajam ke bawah tumpul ke atas”, artinya ketika mengadili masyarakat menengah ke bawah para “penegak” keadilan mudah menjatuhkan vonis/hukuman, sedang ketika menangani kasus-kasus pejabat/orang-orang menengah ke atas pengadilan terkesan lambat. Secara umum, ketidakadilan itu tampak nyata dalam bentuk-bentuk antaralain:
a.      Tindakan perampasan dan penggusuran hak-hak orang lain, pencurian, perampokan dan korupsi.
b.      Tindakan pemerasan dan rekayasa
c.      Sikap enggan membayar utang, termasuk kredit macet, yang berbuntut merugikan rakyat kecil.



B.     KEBENARAN
Kebenaran berarti suatu kondisi yang sesuai dengan hal yang sesungguhnya. Kebenaran juga berarti hal-hal yang sungguh-sungguh benar.  Karena itu kebenaran berkaitan erat dengan kejujuran. Orang jujur berarti orang bertindak atas dasar kebenaran.
Matius 5: 37
37Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jaha
Yohanes 8: 43-47
43Apakah sebabnya kamu tidak mengerti bahasa-Ku? Sebab kamu tidak dapat menangkap firman-Ku.
44Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta. 45Tetapi karena Aku mengatakan kebenaran kepadamu, kamu tidak percaya kepada-Ku. 46Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa? Apabila Aku mengatakan kebenaran, mengapakah kamu tidak percaya kepada-Ku? 47Barangsiapa berasal dari Allah, ia mendengarkan firman Allah; itulah sebabnya kamu tidak mendengarkannya, karena kamu tidak berasal dari Allah.

Dalam sabda Kitab Suci ditegaskan bahwa kebenaran tidak hanya berarti tidak berbohong, tetapi juga mengambil bagian dalam kehidupan Allah. Allah adalah “sumber kebenaran”, karena Allah selalu berbuat sesuai dengan janji-Nya. Maka Allah berfirman “Jangan bersaksi dusta”.


Dalam sejarah, Gereja mengalami berbagai pergulatan dan tantangan terutama dalam menjadi saksi kebenaran iman. Fakta munculnya perpecahan dalam Gereja Katolik membuktikan adanya pergulatan tersebut. Salah satu perpecahan yang terjadi adalahketikaRaja Henry VIII dari Inggris memisahkan seluruhgereja-gereja dikerajaannya dari persekutuan dengan Paus (Gereja Katholik Roma). Masalahnya, karena permintaannya untuk menikah kembali sementara istrinya masih hidup ditolak oleh Paus. Kelompok gereja inilah yang dikenal sebagai Gereja Anglikan. Keputusan Raja Henry tersebut ditentang oleh warganya termasuk Perdana Menterinya sendiri Thomas More. Namun Raja Henry justru menangkap dan memenjarakan orang-orang yang menentangnya. Bahkan Thomas More akhirnya dihukum pancung.  Thomas More menjadi teladan iman, bersaksi tentang kebenaran walaupun harus kehilangan nyawanya

Kamis, 26 November 2015

Rangkuman MAteri Agama Kelas XII Bab ID-E: Panggilan Hidup Membiara dan Panggilan Profesi

PANGGILAN HIDUP MEMBIARA

Dalam kehidupan umat beragama katolik diakui dan diyakini bahwa hidup membiara merupakan panggilan hidup. Hidup membiara merupakan salah satu bentuk hidup selibat (tidak menikah) yang dijalani oleh mereka yang dipanggil untuk mengikuti Kristus secara tuntas/total. Dengan kata lain orang yang menjalani hidup selibat adalah orang yang terpanggil untuk mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan. Menjadi seorang Pastor, Suster, atau Bruder merupakan jawaban atas panggilan Tuhan untuk melayani dan menguduskan dunia. Contoh sederhana dapat kita lihat dalam lingkungan sekolah kita. Sekolah kita berlindung pada seorang tokoh bernama Santa Theresia, seorang suster yang dilahirkan di kota Alencon, Perancis pada 2 Januari 1873. Teladan hidupnya berupa kesederhanaan dan CINTA menjadikan kehidupan santa Theresia menjadi bermakna dan berkat bagi orang lain. Dalam menjalankan misi pelayanan pendidikan, sekolah-sekolah Theresiana juga dipimpin oleh seorang pastor yaitu Rm. Dr. Materius Kristiyanto, Pr sebagai Direktur dan Rm. Marcellinus Roselawanto, Pr sebagai Wakil Direktur. Mereka adalah para pastor milik Keuskupan Agung Semarang yang diberi tugas khusus oleh Bapa Uskup untuk mengelola pendidikan. Mereka menjalani hidup selibat (tidak menikah), serta menghayati tiga nasihat Injil yaitu kemurnian, ketaatan dan kemiskinan.
Hidup membiara ditandai dengan pengucapan kaul (janji setia), yaitu kaul kemiskinan, kaul kemurnian dan kaul ketaatan. Dengan mengucapkan kaul kemiskinan, orang yang hidup membiara melepaskan haknya untuk memiliki harta benda duniawi. Dengan cara ini mereka lebih bisa memusatkan hidupnya semata-mata demi melayani Tuhan dan tidak lekat pada harta benda duniawi. Hal ini bukan berarti mereka tidak boleh menggunakan/memiliki harta benda duniawi, tetapi menggunakan sewajarnya demi mendukung pelayanannya. Dengan kaul ketaatan, seorang yang hidup membiara memutuskan untuk taat seperti Kristus yang taat pada kehendak Bapa-Nya. Ketaatan ini diwujudkan dengan melepaskan kemerdekaannya, kehendak bebasnya dan mengikuti kehendak pimpinan/pembesar dalam konggregasi. Dengan kaul kemurnian orang yang hidup membiara melepaskan haknya untuk hidup berkeluarga. Melalui hidup selibat (tidak menikah), mereka mengungkapkan kesediaan untuk mengikuti dan meneladan Kristus sepenuhnya serta membaktikan hidupnya secara total demi terlaksananya Kerajaan Allah.


PANGGILAN KARYA/PROFESI

Manusia adalah mahkluk pekerja. Tanpa bekerja manusia kehilangan jati dirinya sebagai manusia. Maka apapun pekerjaan manusia, asalkan halal, orang akan merasa dirinya bernilai dihadapan sesamanya. Sebaliknya orang-orang yang berada di usia produktif namun tidak bekerja akan merasa rendah diri dalam pergaulan masyarakat. Dalam ajaran agama Katolik, manusia diciptakan oleh Allah  dan diberi mandat untuk mengelola bumi. Dengan ini, hendaknya manusia menyadari, ketika ia melakukan pekerjaan, ia berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan. Itu berarti bahwa pekerjaan manusia mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah.
Arti Kerja:
Kerja adalah setiap kegiatan manusia yang diarahkan untuk kemajuan manusia, baik kemajuan jasmani maupun rohani. Kerja memerlukan suatu pemikiran. Kerja dengan sadar harus diarahkan kepada suatu tujuan tertentu. Pekerjaan merupakan suatu keistimewaan mahkluk yang berakal budi. Sebab, hanya manusialah yang dengan sadar dan bebas dapat mengarahkan kegiatannya kepada suatu tujuan tertentu.
Makna Kerja:
Makna ekonomis, bekerja dipandang sebagai pengerahan tenaga untuk menghasilkan sesuatu yang diperlukan atau diinginkan seseorang atau masyarakat. Dalam hal ini dibedakan menjadi pekerjaan produktif (pertanian, pertukangan, pabrik, dsb), pekerjaan distributive (perdagangan), dan pekerjaan jasa (guru, dokter, perawat, dsb).  Makna sosiologis, kerja merupakan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan sarana interaksi antar masyarakat. Makna antropologis, kerja memungkinkan manusia untuk membina dan membentuk diri dan pribadinya. 



Selasa, 17 November 2015

Rangkuman Agama Kelas XII Bab 1D: Tantangan Hidup Berkeluarga

PERSOALAN DAN TANTANGAN HIDUP BERKELUARGA


Hidup berkeluarga di jaman modern ini mengalami berbagai tantangan yang semakin kompleks. Tantangan yang paling dirasakan justru muncul dari dasar perkawinan itu sendiri yaitu KOMUNIKASI. Menurut para tokoh pemerhati keluarga, komunikasi dalam keluarga/kehidupan rumah tangga, antara suami-istri dan anak-anak semakin berkurang karena kesibukan pekerjaan, dan terpisah oleh tempat yang jauh. 
Dalam era globalisasi dan modernisasi yang kian marak ini membawah pengaruh dan dampak baik yang positif maupun yang negatif dalam kehidupan keluarga-keluarga kristiani. Kehidupan keluarga tidak bisa lepas dari pengaruh nilai-nilai yang muncul dan yang dihidupinya.
Ada beberapa tantangan dan keperihatinan yang sedang terjadi saat ini:
1.      Persoalan tentang Kontrasepsi, Aborsi, dan Sterilisasi
Pemerintah mempromosikan adanya program Keluarga Berencana (KB) dengan tujuan tercapainya kesejahteraan dalam keluarga. Dengan program KB, kesehatan ibu dapat lebih dijamin, relasi suami istri semakin kaya, taraf hidup lebih ditingkatkan, pendidikan anak lebih terjamin dan tercapainya kesejahteraan masyarakat secara umum.
Gereja Katolik memandang program Keluarga Berencana (KB) dapat diterima. Namun, cara melaksanakannya harus diserahkan sepenuhnya kepada tanggung jawab suami-istri, dengan mengindahkan kesejahteraan keluarga. Gereja Katolik menyatakan bahwa KB pertama-tama harus dipahami sebagai sikap tanggung jawab. Pelaksanaan pengaturan kelahiran harus selalu memperhatikan harkat dan martabat manusia serta mengindahkan nilai-nilai agama dan social budaya yang berlaku dalam masyarakat. Keluarga katolik harus memperhatikan dan memahami penggunaan serta cara kerja alat-alat yang digunakan dalam program KB. Misalnya alat-alat kontrasepsi seperti kondom, suntik, pil KB dan IUD (spiral), harus benar-benar dipahami cara kerja dan efek dan penggunaan alat tersebut.
”Sejauh ini Gereja Katolik menganjurkan umat melaksanakan program KB dengan cara pantang berkala (tidak melakukan persetubuhan saat masa subur) atau sering disebut pula dengan istilah KB Alamiah. Dengan menerapkan KB Alamiah, pasangan diharapkan untuk dapat lebih saling mengasihi dan memperhatikan. Pantang berkala pada masa subur istri dapat diisi dengan mewujudkan kasih dengan cara yang lebih sederhana dan bervariasi. Suami lebih mengenal istri dan peduli akan kesehatan istri.
2.      Rapuhnya nilai kesetiaan dari perkawinan katolik.
Di abad yang serba praktis ini dengan arus hidup yang hedonisme, konsumeris, materialis ada sebagian kelurga kristiani yang mengalami persoalan di dalam menghayati nilai- nilai dasar perkawinan katolik. Ini berkaitan dengan penghayatan terhadap nilai monogami (kesatuan) perkawinan dan kesetiaan yang utuh terhadap pasangan hidup. Misalnya adanya perselingkuhan, praktek poligami bahkan sampai pada keputusan untuk berpisah ketika suasana kelurga tidak harmonis.
3.      Kemerosotan nilai-nilai penghayatan religius dalam keluarga,
Arus hedonis, konsumerisme, dan materialis membawah dampak yang luar biasa bagi penanaman dan penghayatan nilai-nilai religiusitas di dalam keluarga. Irama hidup keluarga hanya disibukan dengan kegiatan yang jauh dari dari hal-hal rohani. Misalnya menonton TV dan VCD, bermain HP, game online, dsb. Sehingga aktivitas rohani berupa doa pribadi, doa bersama, dan sharing masalah iman dalam keluarga sering terabaikan
4.      Tantangan dari lingkungan keluarga
Tantangan-tantangan yang ada dihadapan keluarga tidak hanya berasal dari masyarakat luas melainkan juga dari lingkungan keluarga sendiri, baik dari keluarga besar maupun keluarga inti. Yang di maksud keluarga besar adalah suami-istri dan sanak saudara dari suami maupun dari istri di mana pun mereka berada. Sedangkan keluarga inti adalah suami-istri dan anak-anak. Contoh tantangan dari dalam keluarga inti;
a. kurangnya transparansi antara suami dan istri,
b.kurangnya kerukunan antara suami dan istri
c.kurangnya komunikasi antara suami dan istri
d.kurangnya kesetiaan suami dan istri
e.adanya kecemburuan dari suami atau istri
f.adanya dominasi suami atau istri atas pasanganya.
g.adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga

5.      Beban ekonomi biaya tinggi yang harus di hadapi oleh keluarga- keluarga moderen dewasa ini
Globalisasi yang kuat ditandai dengan sistim persaingan kekuatan- kekuatan ekonomi antar Negara dengan sistim pasar bebasnya yang membawah dampak dalam kehidupan social, ekonomi keluarga dewasa ini. Hal ini harus membuat keluarga hidup dengan biaya ekonomi tinggi. Ekonimi biaya tinggi ini terjadi di segala sector: baik kebutuhan pokok, pelayanan jasa transportasi, pendidikan maupun berbagai pelayanan public. Ekonomi dengan biaya tinggi sering menimbulkan tekanan baik psikis maupun fisik yang bisa menjadi sumber kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam menghadapi tantangan dan keperihatinan aktual saat ini, gereja mempunyai beberapa harapan-harapan terhadap keluarga- keluarga kristiani, antara lain:
1. Keluarga yang mau di bangun harus dipersiapkan dengan baik.
Maksudnya bahwa ada persiapan menjelang perkawinan yaitu:
a.      Persiapan Jauh. Persiapan sejak masa kanak-kanak terutama dengan pendidikan nilai, baik nilai manusiawi maupun nilai-nilai kristiani pada khususnya.
b.      Persiapan dekat. Hidup keluarga hendaknya disiapkan secara intensif sejak masa pacaran. Pemuda dan pemudi yang dalam tahap pacaran harus di dampingi secara bijaksana agar mereka dapat berpacaran dengan sehat. Hendaknya dalam masa pacaran mereka diharapakan lebih mengenal dengan baik keperibadian dari dari pasanganya masing-masing.
c.      Persiapan akhir. Beberapa bulan menjelang pernikahan calon pengantin disiapkan secara lebih intensif lewat kursus persiapan perkawinan, penyelidikan kanonik dan pengumuman nikah.
2. Keluarga didasarkan pada perkawinan yang sah 
Hal ini antara lain berarti: bahwa ke dua mempelai harus mengawali hidup berkeluarga mereka dengan upacara peneguhan perkawinan sesuai dengan hukum gereja, seperti termuat dalam kitab hukum kanonik dari kanon 1108- 1123.
3. Keluarga menjadi komunitas hidup dan kasih
Gereja berharap bahwa keluarga menjadi komunitas kehidupan dan kasih yang ditandai oleh sikap hormat dan syukur terhadap anuhgerah kehidupan serta kasih dari semua anggotanya.
Harapan gereja ini antara lain terungkap dalam konstitusi pastoral konsili vatikan ke II yakni “gaudium et spes 48” dan seruan apostolic paus Yohanes Paulus ke II  yang berjudul” familiaris consortio 17-41”.

Sumber:
1.      Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII, Buku Guru, 2015
2.      Br. Urbanus, Msf.S.Ag dalam msfmusafir.wordpress.com/2009/02/27/tantangan-dan-keperihatinan-yang-aktual-dalam-hidup-keluarga.
3. http://bidan-raka.blogspot.co.id/2010/06/kb-dalam-pandangan-gereja-katolik.html

Kamis, 03 September 2015

Rangkuman Agama Kelas XII Bab I C : Perkawinan dalam Tradisi Katolik

C.  PERKAWINAN  DALAM TRADISI KATOLIK
Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita dalam agama apapun merupakan suatu peristiwa kehidupan yang sangat sakral. Karena itu tidak boleh dinodai atau dikhianati oleh siapapun dengan motif apapun. Sayang sekali dalam masyarakat, kita sering mendengar atau menyaksikan pertikaian antara pasangan suami-istri yang menimbulkan keretakan hubungan antar mereka. Tak jarang relasi suami-istri yang sangat pribadi itu dibawa ke ranah publik, terutama para pesohor, entah artis, politisi, dan tokoh masyarakat dijadikan konsumsi publik melalui infotainment di televisi atau media sosial. Pemberitaan media mengenai kasus-kasus perkawinan dengan berbagai latar belakangnya itu, dapat menciptakan suatu pandangan dalam masyarakat bahwa perceraian suami-istri adalah hal yang biasa-biasa saja.
Bertitik tolak dari kasus-kasus perkawina macam itu, maka kita perlu memahami hakekat perkawinan itu sendiri. Hakikat perkawinan adalah persekutuan pria-wanita atas dasar cinta. Perkawinan juga harus dilihat sebagai panggilan Allah, suatu tanda dari cinta Allah kepada manusia dan cinta Kristus kepada gereja-Nya. Tak dapat disangkal bahwa banyak perkawinan menjadi kandas karena orang tidak pernah menganggapnya sebagai sebuah panggilan sehingga mereka tidak pernah mempersiapkan dengan sungguh-sungguh. Salah satu persiapan ialah usaha mengenal dan memahami arti dan makna perkawinan, tujuan serta sifat-sifat perkawinan, sehingga seseorang dapat menjalani panggilan hidup ini dengan sadar dan tepat.
Gereja Katolik secara tegas mengajarkan bahwa Perkawinan Katoik adalah sakramen, yaitu sebagai tanda cinta kasih Allah. Oleh karena itu setiap pasangan suami-istri harus menjaga kesucian perkawinan. Karena perkawinan itu merupakan tanda (sakramen) dari cinta kasih Allah dan Cinta Kristus, maka perkawinan bersifat tetap, tak dapat diceraikan, utuh, personal dan monogam. Sifat dasar perkawinan yang tidak dapat diganggu gugat adalah KESETIAAN. Kesetiaan merupakan sikap dasar yang harus dihayati oleh pasangan yang telah menerima sakramen perkawinan itu. Kesetiaan berarti suami-istri hidup bagi pasangannnya, menyerahkan diri secara total hanya kepada pasangannya, selalu dan dalam segala situasi. Kesetiaan adalah hal yang sangat utama dalam kehidupan perkawinan kristiani.

 Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik.
Kitab Hukum Kanonik memuat hukum-hukum, aturan-aturan dalam perkawinan Katolik. Dalam kanon 1055 diungkapkan paham dasar tentang perkawinan gerejawi, yaitu:
1.   Perjanjian Perkawinan
Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi Yahudi, perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang membentuk (menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah. Konsekwensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.
2.   Kebersamaan Seluruh Hidup
Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae. “Consortium”: con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan senasib. Totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh perjanjian perkawinan.Suami istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat.
3.      Perkawinan sebagai Sakramen
Perkawinan Kristiani bersifat sakramental.Bagi pasangan yang telah dibabtis, ketika mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen
4.      Antara Pria dan Wanita
Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).
Sifat –Sfat Hakiki Perkawinan
Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus karena sakramen. Sifat-sifat hakiki perkawinan, yaitu monogami dan sifat tak terceraikan ikatan perkawinan, termasuk paham Perkawinan Katolik. Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. Dengan demikian suami istri yang telah cerai itu di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi  dengan sah.
Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci
Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27).Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman ‘penolong’ yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu ‘daging’ (Kej 2:24). Jadi persatuan laki-laki danperempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu….” (Kej 1:28).Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu: “Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk 10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang menjadi rencana Allah pada awalnya (Mat 19:8).Jadiperkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah. Allah adalah Kasih ( Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas).
Syarat Perkawinan Katolik Yang Sah
Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa syarat untuk menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah:
Syarat pertama. Perkawinan Katolik yang sah adalah jika ada perjanjian/kesepakatan.  Perkawinan yang diikat oleh seorang pria dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat dengan bebas dan sukarela, dalam arti tidak ada paksaandan tidak dihalangi oleh hukum kodrat atauGereja. Kesepakatan kedua mempelai ini merupakan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan; sebab jika kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada perkawinan. Kesepakatan di sini berarti tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan, dan kesepakatan ini harus bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat yang datang dari luar.Jika kebebasan ini tidak ada, maka perkawinan dikatakan tidak sah.
Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan, diterima dan dilaksanakan dihadapan pastor/imam atau diakon yang bertugas atas nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan. Oleh karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka sakramen Perkawinan diadakan didalam liturgi resmi Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang terikat dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah mutlak perlu.

Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perkawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan. Persiapan ini mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-masing dan pelaksanaannya. Dalam masa persiapan tersebut, calon mempelai juga diajak memahami halangan-halangan yang membuat perkawinan tidak sah. Halangan-halangan pernikahan antara lain: impotensi, hubungan darah, terikat dengan perkawinan sebelumnya, dsb.

Sumber:
1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII, Buku Siswa, 2015.

2. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII, Buku Guru, 2015.
3.Gambar: www.semarangwedding.com
4. www.imankatolik.or.id
5. www.paroki-blokb.org