Kamis, 03 September 2015

Rangkuman Agama Kelas XII Bab I C : Perkawinan dalam Tradisi Katolik

C.  PERKAWINAN  DALAM TRADISI KATOLIK
Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita dalam agama apapun merupakan suatu peristiwa kehidupan yang sangat sakral. Karena itu tidak boleh dinodai atau dikhianati oleh siapapun dengan motif apapun. Sayang sekali dalam masyarakat, kita sering mendengar atau menyaksikan pertikaian antara pasangan suami-istri yang menimbulkan keretakan hubungan antar mereka. Tak jarang relasi suami-istri yang sangat pribadi itu dibawa ke ranah publik, terutama para pesohor, entah artis, politisi, dan tokoh masyarakat dijadikan konsumsi publik melalui infotainment di televisi atau media sosial. Pemberitaan media mengenai kasus-kasus perkawinan dengan berbagai latar belakangnya itu, dapat menciptakan suatu pandangan dalam masyarakat bahwa perceraian suami-istri adalah hal yang biasa-biasa saja.
Bertitik tolak dari kasus-kasus perkawina macam itu, maka kita perlu memahami hakekat perkawinan itu sendiri. Hakikat perkawinan adalah persekutuan pria-wanita atas dasar cinta. Perkawinan juga harus dilihat sebagai panggilan Allah, suatu tanda dari cinta Allah kepada manusia dan cinta Kristus kepada gereja-Nya. Tak dapat disangkal bahwa banyak perkawinan menjadi kandas karena orang tidak pernah menganggapnya sebagai sebuah panggilan sehingga mereka tidak pernah mempersiapkan dengan sungguh-sungguh. Salah satu persiapan ialah usaha mengenal dan memahami arti dan makna perkawinan, tujuan serta sifat-sifat perkawinan, sehingga seseorang dapat menjalani panggilan hidup ini dengan sadar dan tepat.
Gereja Katolik secara tegas mengajarkan bahwa Perkawinan Katoik adalah sakramen, yaitu sebagai tanda cinta kasih Allah. Oleh karena itu setiap pasangan suami-istri harus menjaga kesucian perkawinan. Karena perkawinan itu merupakan tanda (sakramen) dari cinta kasih Allah dan Cinta Kristus, maka perkawinan bersifat tetap, tak dapat diceraikan, utuh, personal dan monogam. Sifat dasar perkawinan yang tidak dapat diganggu gugat adalah KESETIAAN. Kesetiaan merupakan sikap dasar yang harus dihayati oleh pasangan yang telah menerima sakramen perkawinan itu. Kesetiaan berarti suami-istri hidup bagi pasangannnya, menyerahkan diri secara total hanya kepada pasangannya, selalu dan dalam segala situasi. Kesetiaan adalah hal yang sangat utama dalam kehidupan perkawinan kristiani.

 Perkawinan menurut Kitab Hukum Kanonik.
Kitab Hukum Kanonik memuat hukum-hukum, aturan-aturan dalam perkawinan Katolik. Dalam kanon 1055 diungkapkan paham dasar tentang perkawinan gerejawi, yaitu:
1.   Perjanjian Perkawinan
Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi Yahudi, perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang membentuk (menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah. Konsekwensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.
2.   Kebersamaan Seluruh Hidup
Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae. “Consortium”: con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan senasib. Totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh perjanjian perkawinan.Suami istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat.
3.      Perkawinan sebagai Sakramen
Perkawinan Kristiani bersifat sakramental.Bagi pasangan yang telah dibabtis, ketika mereka saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus sakramen
4.      Antara Pria dan Wanita
Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).
Sifat –Sfat Hakiki Perkawinan
Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus karena sakramen. Sifat-sifat hakiki perkawinan, yaitu monogami dan sifat tak terceraikan ikatan perkawinan, termasuk paham Perkawinan Katolik. Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. Dengan demikian suami istri yang telah cerai itu di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi  dengan sah.
Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci
Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27).Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman ‘penolong’ yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu ‘daging’ (Kej 2:24). Jadi persatuan laki-laki danperempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu….” (Kej 1:28).Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu: “Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk 10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang menjadi rencana Allah pada awalnya (Mat 19:8).Jadiperkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah. Allah adalah Kasih ( Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas).
Syarat Perkawinan Katolik Yang Sah
Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa syarat untuk menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah:
Syarat pertama. Perkawinan Katolik yang sah adalah jika ada perjanjian/kesepakatan.  Perkawinan yang diikat oleh seorang pria dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat dengan bebas dan sukarela, dalam arti tidak ada paksaandan tidak dihalangi oleh hukum kodrat atauGereja. Kesepakatan kedua mempelai ini merupakan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan; sebab jika kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada perkawinan. Kesepakatan di sini berarti tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan, dan kesepakatan ini harus bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat yang datang dari luar.Jika kebebasan ini tidak ada, maka perkawinan dikatakan tidak sah.
Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan, diterima dan dilaksanakan dihadapan pastor/imam atau diakon yang bertugas atas nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan. Oleh karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka sakramen Perkawinan diadakan didalam liturgi resmi Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang terikat dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah mutlak perlu.

Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perkawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan. Persiapan ini mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-masing dan pelaksanaannya. Dalam masa persiapan tersebut, calon mempelai juga diajak memahami halangan-halangan yang membuat perkawinan tidak sah. Halangan-halangan pernikahan antara lain: impotensi, hubungan darah, terikat dengan perkawinan sebelumnya, dsb.

Sumber:
1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII, Buku Siswa, 2015.

2. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII, Buku Guru, 2015.
3.Gambar: www.semarangwedding.com
4. www.imankatolik.or.id
5. www.paroki-blokb.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar