Rabu, 24 Januari 2018

IQ dan Attitude

                                                                    
Kisah berikut ini saya dapatkan dari seorang rekan kerja di salah satu grup medsos. Entah sumbernya awalnya dari mana, tetapi kisah ini bergitu menginspirasi dan tidak ada salahnya jika kembali aku bagikan. Inilah kisahnya…

Seorang wanita pergi kuliah di Perancis. Dia perhatikan bahwa sistem transportasi di sana menggunakan sistem otomatis, artinya Anda beli tiket sesuai dengan tujuan melalui mesin. Setiap perhentian kendaraan umum memakai cara “self service” dan jarang sekali diperiksa petugas.  Bahkan pemeriksaan insidentil oleh petugas pun hampir tidak ada. Akhirnya lama kelamaan dia menemukan kelemahan sistem ini, dan dengan kelihaiannya dia bisa naik transportasi umum tanpa harus beli tiket dan dia perhitungkan kemungkinan tertangkap petugas sangat kecil.
Sejak itu, dia selalu naik kendaraan umum dengan tidak membayar tiket. Dia bahkan merasa bangga atas kepintarannya tersebut. Dia berpendapat dalam hati, karena dia anggap dirinya adalah murid miskin dan kalau bisa irit ya irit. Namun, dia tidak sadar bahwa dia sedang melakukan kesalahan fatal yang akan berpengaruh pada karirnya kelak.
Empat tahun berlalu dan dia tamat dari fakultas yang ternama dengan nilai yang sangat bagus. Hal ini membuat dirinya penuh percaya diri. Lalu dia mulai mengajukan lamaran pekerjaan di beberapa perusahaan ternama di Paris dengan pengharapan besar untuk diterima. Pada mulanya, semua perusahaan ini menyambut dia dengan hangat. Tapi beberapa hari kemudian, semua menolaknya dengan berbagai alasan.
Hal ini terus terjadi berulang kali sampai membuat dia merasa tidak terima dan sangat marah. Bahkan dia mulai menganggap perusahaan-perusahaan ini rasis, karena tidak mau menerima warga negara asing. Akhirnya karena penasaran, dia memaksa masuk ke departemen tenaga kerja untuk bertemu dengan managernya. Dia ingin tahu alasan apa perusahaan-perusahaan ini menolaknya. Ternyata, penjelasan yang didapat, sungguh diluar dugaan.
Berikut dialog mereka:
Manager :“Nona, kami tidak rasis, sebaliknya kami sangat mementingkan Anda. Pada saat Anda mengajukan aplikasi pekerjaan di perusahaan, kami sangat terkesan dengan nilai akademis dan pencapaian Anda. Sesungguhnya berdasarkan kemampuan, anda sebenarnya adalah golongan pekerja yang kami cari-cari”.
Wanita    : “Kalau begitu, mengapa perusahaan-perusahaan tersebut tidak menerima saya bekerja?”
Manager : “Jadi begini, setelah saya memeriksa di database, kami menemukan data bahwa nona pernah 3 kali kena sanksi tidak membayar tiket saat naik kendaraan umum”.
Wanita     : (kaget) “Ya saya mengakuinya, tapi apakah karena perkara kecil tersebut perusahaan menolak saya”.
Manager : “Perkara kecil?? Kami tidak anggap ini perkara kecil, nona. Kami perhatikan pertama kali anda melanggar hukum terjadi pada minggu pertama anda masuk negara ini. Saat itu petugas percaya dengan penjelasan bahwa anda masih belum mengerti sistem transportasi umum disini. Kesalahan tersebut diampuni. Namun anda tertangkap 2x lagi setelah itu”.
Wanita    : “Ohhh, waktu itu karena tidak ada uang kecil saja”.
Manager : “Tidak, tidak, kami tidak bisa menerima penjelasan Anda. Jangan anggap kami bodoh. Kami yakin anda telah melakukan penipuan ratusan kali sebelum tertangkap”.
Wanita   : “Well, tapi itu bukan kesalahan fatal kh? Kenapa harus begitu serius? Lain kali saya berubah kan masih bisa?”
Manager : “Saya tidak anggap demikian nona, perbuatan anda membuktikan dua hal:
1. Anda tidak mau mengikuti peraturan yang ada. Anda pintar mencari kelemahan dalam peraturan dan memanfaatkan untuk diri sendiri.
2. Anda tidak bisa dipercaya. Nona, banyak pekerjaan di perusahaan kami tergantung pada kepercayaan. Jika Anda diberi tanggungjawab atas penjualan di sebuah wilayah, maka anda akan diberikan kuasa yang besar. Karena efisiensi biaya, kami tidak akan memakai sistem kontrol untuk mengawasi pekerjaanmu. Perusahaan kami mirip dengan sistem transportasi di negeri ini. Oleh sebab itu kami tidak bisa menerima anda nona. dan saya berani katakan, di negara kami bahkan di seluruh eropa, tidak ada yang mau menggunakan jasa anda.
Pada saat itu, wanita itu seperti tertampar dan terbangun dari mimpinya dan merasa sangat menyesal. Perkataan manager yang terakhir membuat hatinya bergetar.
Moral of the story
Dalam kehidupan sosial, moral dan etika seseorang bisa menutupi kekurangan IQ atau kepintaran. Tetapi IQ atau kepintaran bagaimanapun tingginya tidak akan bisa menolong etika yang buruk.
Attitude atau sikap mental menjadi dasar utama keberhasilan kita, oleh sebab itu jangan dianggap remeh. Attitude diibaratkan seperti berkendara dengan ban kempes, dimanapun kita berada, baik dilingkungan sosial maupun pekerjaan, attitude seseorang akan dengan mudah dirasakan oleh sesama dan orang-orang disekeliling kita akan memberikan reaksi yang sama terhadap attitude kita.
My Reflection:
Rasanya kisah ini begitu tepat mengena dalam diri saya. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai pendidik sekaligus pembelajar, saya sungguh terlibat dan ikut merasakan perkembangan karakter seseorang. Saat tulisan ini saya buat, di berbagai media terutama di wilayah semarang, dihebohkan dengan berita pembunuhan dan perampasan mobil yang dilakukan oleh dua orang pelajar SMK Negeri di kota Semarang terhadap seorang sopir taksi “online”. Berita itu cukup menggemparkan dunia pendidikan. Memicu reaksi dan komentar dari berbagai kalangan. Dan menjadi pembicaraan hangat diruang-ruang dimana kami berkumpul. Pertanyaan yang sering terlontar, “mengapa bisa seperti itu?” Lalu kami saling menduga-duga, entah mungkin karena lingkungannya, pendidikan dalam keluarganya, sekolahnya, dsb. Tetapi mungkin juga ada yang bertanya dalam dirinya (seperti yang saya alami), “bagaimana dengan saya? Bagaimana dengan keluarga saya? Bagaimana saya mendidik anak saya? Dan bagaimana sebagai seorang guru saya menanamkan karakter baik dalam diri anak didik saya?” Jawaban pertama yang muncul dalam benak saya adalah KETELADANAN. Saya memiliki karakter seperti sekarang ini tidak lepas dari teladan bapak simbok saya, guru-guru saya dan orang-orang yang terlibat dalam perkembangan hidup saya. Maka jika saya bisa menghayati hidup saya, mencintai pekerjaan saya dengan berbagai tugas dan tanggungjawab sebagai seorang pendidik, moga-moga bisa menjadi teladan bagi siapa saja yang berjumpa dengan saya. Di sekolah dimana saya bekerja, ada empat core values yang dihayati dan diperjuangkan yaitu: Sukacita, Disiplin, Jujur dan Peduli. Apabila kami, para guru, karyawan dan tenaga pendidikan bisa menghayati dan menjadi teladan dalam empat nilai tersebut, setidaknya para peserta didik kami memiliki figur teladan dalam perkembangan karakter mereka. Tentu tidaklah cukup hanya memberi teladan. Pengawasan, pendampingan dan bimbingan terus menerus tentu akan membantu perkembangan anak didik kita menjadi semakin baik. Semoga. Aminnn.

Sumber gambar: www.kompasiana.com/pakde-sakimun/sekilas-tentang-cara-melihat-karakter-jahat-dan-baik-dalam-pewayangan