BAB I
PANGGILAN HIDUP SEBAGAI UMAT ALLAH
PANGGILAN HIDUP SEBAGAI UMAT ALLAH
KOMPETENSI DASAR
1.1.
Menghayati panggilan hidupnya sebagai
umat Allah (Gereja) dengan menentukan langkah yang tepat dalam menjawab panggilan hidup tersebut
2.1.
Berperilaku tanggung jawab pada panggilan hidupnya sebagai umat Allah
(Gereja) dengan menentukan langkah yang tepat dalam menjawab panggilan hidup tersebut
3.1
Memahami panggilan hidupnya sebagai umat Allah (Gereja) dengan menentukan
langkah yang tepat dalam menjawab
panggilan hidup tersebut
4.1
Melaksanakan panggilan hidupnya sebagai umat Allah (Gereja) dengan menentukan
langkah yang tepat dalam menjawab panggilan
hidup tersebut
A.
PEMAKNAAN
HIDUP
Manusia pada
hakikatnya diciptakan oleh Allah yang Maha Kuasa dengan segala rencana-Nya,
yakni karya keselamatan dalam hidupnya. Manusia menjadi objek dan subjek dari
rencana Tuhan itu. Oleh karena itu, pribadi manusia mempunyai peran sentral
bagi terwujudnya Kerajaan Allah. Dengan demikian manusia dipanggil untuk ikut
serta bekerja bersama Allah, mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan dalam
hidupnya. Itulah makna dari panggilan hidup manusia.
Sejak awal
mula, manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, memiliki kesempurnaan yang paling tinggi di banding
mahkluk ciptaan yang lain. Itu menunjukkan bahwa manusia adalah harta
kesayangan Allah, mahkluk paling sempurna, dipanggil dan diikutsertakan dalam
karya Allah, yakni mengembangkan dan menyempurnakan kehidupan. Oleh karena itu,
hidup manusia semata-mata merupaka anugerah Allah yang harus
dipertanggungjawabkan. Ada tiga kategori bentuk pertanggungjawaban atas hidup
manusia, yakni mempertahankan hidup (menghormati, menjaga, merawat, memelihara
hidup)
Contoh:
makan teratur dengan menu yang sehat, olahraga teratur, menjaga kebersihan
tubuh dan lingkungan tempat tinggal, menghormati dan menjaga hidup oranglain.
memaknai hidup
(berperanan, aktivitas, karya, pelayanan)
Contoh: ikut kegiatan
gereja/keagamaan, menjadi pelayan gereja (misdinar, choir, singer, lektor,
dsb), menjadi anggota gerakan sosial, menjadi
relawan kemanusiaan, dsb.
mengembangkan hidup (mencapai
kemajuan, prestasi, belajar tiada henti)
Contoh: mengikuti
kejuaraan/kompetisi/pertandingan, menjadi juara di bidang akademis, menjadi
enterpreuner sebari sekolah, aktif dalam kegiatan seminar/pengembangan diri.
Pada
prinsipnya, hidup yang merupakan anugerah itu harus disyukuri dan
dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya. Sebagaimana diungkapkan oleh Santo Paulus
dalam suratnya kepada Jemaat di Roma (Rom.14: 10-12) sebagai berikut:
10 Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi
saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua
harus menghadap takhta pengadilan Allah. 11 Karena ada tertulis: "Demi Aku hidup,
demikianlah firman Tuhan, semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku dan
semua orang akan memuliakan Allah." 12 Demikianlah setiap orang di antara kita akan
memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah.
|
Simaklah syair lagu “Masih ada
Waktu” (Ebiet G Ade) berikut ini:
Bila masih mungkin kita menorehkan batin,atas nama
jiwa dan hati tulus ikhlas,Mumpung masih ada kesempatan buat kita, Mengumpulkan
doa perjalanan abadi.
Kita mesti ingat tragedi yang memilukan, Kenapa
harus mereka yang pergi menghadap
Tentu ada hikmah yang harus kita petik,Atas nama
jiwa mengheningkan cipta.
**. Kita
meski bersyukur, Bahwa kita masih di beri waktu, Entah sampai kapan, Tak ada
yang dapat menghitung
Hanya
atas kasihNya, Hanya atas kehendakMu,Kita masih bertemu matahari, Kepada rumput
ilalang
Kepada
bintang gemintang, Kita dapat mencoba meminjam catatannya
Sampai
kapan kita berada, Waktu yang masih tersisa,Semuanya menggeleng, Semuanya
terdiam
Semuanya
menjawab tak mengerti,Yang terbaik hanyalah segeralah bersujud, Mumpung kita
masih diberi waktu
(kembali
ke **)
Syair lagu
tersebut mengingatkan kita bahwa hidup ini hanyalah sementara, dan merupakan
kesempatan untuk “mengumpulkan bekal” menuju kehidupan yang bersifat abadi.
Kita perlu menyadari bahwa antara kelahiran (awal hidup) dan
kematian (akhir hidup) terdapat kenyataan, peluang/kesempatan, tawaran,
kemungkinan dan segala dinamika yang amat komplek dalam hidup ini.
Itulah moment kehidupan yang perlu kita isi dan kita maknai sebagai bentuk
pertanggungjawaban kepada Sang Pencipta. Dalam rangka pemaknaan hidup, kita
dapat menentukan sikap, pilihan atau komitmen terkait dengan status hidup
maupun bidang profesi atau karier. Pilihan itu kita tempatkan dalam rangka
menanggapi panggilan Tuhan. Untuk menanggapi panggilan hidup inilah, kita akan
mengenal dan memahami panggilan hidup berkeluarga, panggilan hidup membiara dan
panggilan karya/profesi.
Pendalaman Refleksi:
1. Apakah maksudnya bahwa hidup ini adalah
anugerah?
2. Hidup yang adalah anugerah ini harus
dipertanggungjawabkan kepada sang Pemberi Hidup. Jelaskan dan beri contoh
bentuk-bentuk pertanggungjawaban atas hidup ini!
3. Jelaskan apa yang dimaksud Panggilan Hidup?
4. Sebagai gambaran awal, cobalah uraikan
kehidupan seperti apa yang ingin kamu jalani! Cita-cita, mimpi, harapan
seperti apa yang ingin kamu capai dalam kehidupanmu!
|
B.
PANGGILAN
HIDUP BERKELUARGA
Hidup
berkeluarga atau perkawinan bagi orang dewasa merupakan pilihan jalan hidup. Perkawinan
adalah persekutuan yang khas antara laki-laki dan perempuan di mana mereka
saling mengisi dan menyempurnakan, sehingga mereka dapat menjadi kepala
keluarga dan hati keluarga yang penuh demi mencapai kebahagiaan. Hidup
berkeluarga yang diawali dengan perkawinan merupakan panggilan hidup, yakni
panggilan untuk menjadi rekan kerja Allah dalam melangsungkan karya
penciptaan-Nya demi perkembangan hidup dan berlangsungnya generasi hidup
manusia.
Perkawinan
merupakan persekutuan cinta antara pria dan wanita yang secara sadar dan bebas
menyerahkan diri beserta segala kemampuannya untuk selamanya. Dalam penyerahan
itu suami istri berusaha makin saling menyempurnakan dan saling membantu. Hanya dalam suasana saling menghormati dan
menerima inilah, dalam keadaan manapun juga, persekutuan cinta dapat berkembang
hingga tercapai kesatuan hati yang dicita-citakan.
1. Berbagai pandangan tentang
perkawinan:
a.
Pandangan Tradisional: Perkawinan
adalah ikatan antara laki-laki dan perempuan, antara keluarga laki-laki dan
keluarga perempuan.
b.
Pandangan Sosial: Perkawinan
adalah persekutuan hidup yang mempunyai bentuk, tujuan dan hubungan yang
khusus. Suami-istri akan mencapai kesempurnaan dan kepenuhannya sebagai
manusia. Menjadi bapak dan ibu dan hidup di tengah masyarakat.
c.
Pandangan Hukum: Perkawinan
adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan, dan perjanjian antara kerabat
laki-laki dan kerabat perempuan. Perjanjian di depan masyarakat agama dan
Negara yang membuat perkawinan menjadi SAH.
d.
Pandangan Antropologis:
Perkawinan adalah persekutuan CINTA; sebuah jalinan persekutuan yang diawali
dengan CINTA, berkembang atas dasar CINTA dan bahagia karena CINTA.
2. Makna Hidup Berkeluarga
Keluarga
adalah sekolah kemanusiaan. Namun supaya kehidupan dan perutusan keluarga dapat
mencapai kepenuhan, dituntut komunikasi batin yang baik, yang ikhlas dalam
pendidikan anak. Keluarga adalah tempat pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan.
a.
Tugas dan tanggungjawab seorang suami/bapak
Suami sebagai
kepala keluarga: harus bisa memberi nafkah lahir-batin kepada istri
dan keluarga. Mencari nafkah adalah tugas pokok seorang suami, sedapatnya tidak
terlalu dibebankan kepada istri dan anak-anak. Maka seorang suami harus
memiliki pekerjaan. Suami sebagai partner istri, suami hendaknya menjadi mitra dari
istrinya. Pada masa sekarang inibanyak wanita yang menjadi wanita karier, maka
perlulah suami menjadi pendamping, penyokong dan pemberi semangat baginya. Suami
sebagai pendidik, tugas mendidik anak bukan hanya tanggunggjawab
istri/ibu, melainkan juga tanggungjawab suami/bapak. Sosok ayah bagi seorang
anak tidak pernah tergantikan. Ayah menjadi figure teladan/panutan bagi
anak-anaknya.
b.
Tugas dan tanggung jawab seorang istri/ibu
Istri sebagai hati
dalam keluarga. Sebagai hati keluarga, istri/ibu menciptakan suasana
kasih sayang, ketentraman, keindahan, dan keharmonisan dalam keluarga. Istri
sebagai mitra dari suami. Sebagai mitra, istri dapat membantu suami
dalam tugas dan kariernya. Bantuan yang dimaksudkan disini seperti memberikan
sumbangan saran, dan dukungan moril. Istri sebagai pendidik, ibu/istri
merupakan pendidik yang pertama dan utama dari anak-anaknya. Hal ini berarti ibu adalah pendidik yang
ulung.
c.
Kewajiban anak terhadap Orangtua
Beberapa
hal dasar yang menjadi kewajibananak terhadap orangtua adalah: mengasihi
orangtua, bersikap dan berperilaku penuh syukur serta bersikap/berperilaku
hormat kepada orangtua.
3. Cinta Kasih dalam Keluarga
Pentingnya
cinta dalam hidup manusia. Inti ajaran Kristen adalah
Cinta KAsih. “Hendaknya kamu saling mencintai seperti Aku telah mencintai kamu”
(Yoh.15:12). Cinta membahagiakan orang dan memungkinkan manusia berkembang
secara sehat dan seimbang. Cinta yangjujur dan persahabatan sejati antar
manusia memungkinkan perwujudan diri yang sehat dan seimbang, menghindar
gangguan psikis dan dapat menyembuhkan orang yang menderita sakit jiwa.
Membina
cinta dalam keluarga. Tujuan perkawinan
pertama-tama adalah membina cinta kasih ntara suami-istri, menjalin hubungan
perasaan yang mesra antara kedua partner yang ingin hidup bersama untuk
selama-lamanya.
PERTANYAAN REFLEKTIF
1. Apa makna keluarga bagi Anda!
2. Apa manfaat komunikasi dalam
keluarga!
3. Apa peran suami/bapak,
istri/ibu serta anak dalam keluarga?
4. Apakah pandangan sosial
mengenai perkawinan?
5. Jelaskan pentingnya cinta
kasih dalam keluarga!
C.
PERKAWINAN DALAM TRADISI KATOLIK
Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita
dalam agama apapun merupakan suatu peristiwa kehidupan yang sangat sakral.
Karena itu tidak boleh dinodai atau dikhianati oleh siapapun dengan motif
apapun. Sayang sekali dalam masyarakat, kita sering mendengar atau menyaksikan
pertikaian antara pasangan suami-istri yang menimbulkan keretakan hubungan
antar mereka. Tak jarang relasi suami-istri yang sangat pribadi itu dibawa ke
ranah publik, terutama para pesohor, entah artis, politisi, dan tokoh
masyarakat dijadikan konsumsi publik melalui infotainment di televisi atau
media sosial. Pemberitaan media mengenai kasus-kasus perkawinan dengan berbagai
latar belakangnya itu, dapat menciptakan suatu pandangan dalam masyarakat bahwa
perceraian suami-istri adalah hal yang biasa-biasa saja.
Bertitik tolak dari kasus-kasus perkawina macam itu,
maka kita perlu memahami hakekat perkawinan itu sendiri. Hakikat perkawinan
adalah persekutuan pria-wanita atas dasar cinta. Perkawinan juga harus dilihat
sebagai panggilan Allah, suatu tanda dari cinta Allah kepada manusia dan cinta
Kristus kepada gereja-Nya. Tak dapat disangkal bahwa banyak perkawinan menjadi
kandas karena orang tidak pernah menganggapnya sebagai sebuah panggilan
sehingga mereka tidak pernah mempersiapkan dengan sungguh-sungguh. Salah satu
persiapan ialah usaha mengenal dan memahami arti dan makna perkawinan, tujuan
serta sifat-sifat perkawinan, sehingga seseorang dapat menjalani panggilan
hidup ini dengan sadar dan tepat.
Gereja Katolik secara tegas mengajarkan bahwa
Perkawinan Katoik adalah sakramen, yaitu sebagai tanda cinta
kasih Allah. Oleh karena itu setiap pasangan suami-istri harus menjaga kesucian
perkawinan. Karena perkawinan itu merupakan tanda (sakramen) dari cinta kasih
Allah dan Cinta Kristus, maka perkawinan bersifat tetap, tak dapat diceraikan,
utuh, personal dan monogam. Sifat dasar perkawinan yang tidak dapat diganggu
gugat adalah KESETIAAN. Kesetiaan merupakan sikap dasar yang harus dihayati
oleh pasangan yang telah menerima sakramen perkawinan itu. Kesetiaan berarti
suami-istri hidup bagi pasangannnya, menyerahkan diri secara total hanya kepada
pasangannya, selalu dan dalam segala situasi. Kesetiaan adalah hal yang sangat
utama dalam kehidupan perkawinan kristiani.
Perkawinan
menurut Kitab Hukum Kanonik.
Kitab Hukum Kanonik memuat hukum-hukum, aturan-aturan
dalam perkawinan Katolik. Dalam kanon 1055 diungkapkan paham dasar tentang
perkawinan gerejawi, yaitu:
1.
Perjanjian
Perkawinan
Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi
Yahudi, perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang membentuk
(menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan
mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan
darah. Konsekwensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun
kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas
dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar
pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.
2. Kebersamaan Seluruh Hidup
Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan
seluruh hidup (consortium totius vitae. “Consortium”: con = bersama, sors
= nasib, jadi kebersamaan senasib. Totius vitae = seumur hidup, hidup
seutuhnya). Ini terjadi oleh perjanjian perkawinan.Suami istri berjanji untuk
menyatukan hidup mereka secara utuh hingga akhir hayat.
3.
Perkawinan
sebagai Sakramen
Perkawinan Kristiani bersifat
sakramental.Bagi pasangan yang telah dibabtis, ketika mereka saling memberikan
konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi sah sekaligus
sakramen
4.
Antara
Pria dan Wanita
Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan diperuntukkan satu
sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memperkaya. Menjadi
“satu daging” (Kej 2:24).
Sifat –Sfat Hakiki Perkawinan
Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam
dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh
kekukuhan khusus karena sakramen. Sifat hakiki ini menunjukkan bahwa perkawinan katolik berarti menjadi
satu dan tak terceraikan. Hal ini mengacu pada sabda Yesus sendiri bahwa “Karena
itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat.19:
6). Patut
diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam Gereja Katolik tak
jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Kedua sifat hakiki ini
berkaitan erat sekali, sehingga perkawian kedua tidak sah, meskipun suami-istri
dalam perkawinan
pertama telah diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena
Gereja Katolik tidak mengakui perceraian itu. Dengan demikian suami istri yang
telah cerai itu, di mata Gereja masih terikat perkawinan dan
tak dapat menikah lagi dengan sah. Hal ini seringkali menimbulkan anggapan bahwa orang
katolik yang sudah menikah sah secara katolik tidak bisa bercerai. Hal itu
memang benar karena gereja Katolik tidak mengakui adanya perceraian, kecuali
oleh karena kematian. Pasangan suami istri yang mengalami permasalahan
perkawinan harus didampingi untuk tetap menjaga keutuhan perkawinan.
Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci
Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki
(Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27).Hawa diciptakan
dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman ‘penolong’ yang
sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi
satu ‘daging’ (Kej 2:24). Jadi persatuan laki-laki danperempuan telah
direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada
mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah
itu….” (Kej 1:28).Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami
(satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia,
kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi
manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu:
“Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya
sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan perempuan yang
telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk
10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan
oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang
menjadi rencana Allah pada awalnya (Mat 19:8).Jadi, perkawinan
antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah.
Allah adalah Kasih ( Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah
ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita
mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang
merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas).
Syarat Perkawinan Katolik Yang Sah
Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa
syarat untuk menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah:
Syarat pertama. Perkawinan Katolik yang sah
adalah jika ada perjanjian/kesepakatan (covenant,
foedus). Perkawinan yang diikat
oleh seorang pria dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat
dengan bebas dan sukarela, dalam arti tidak ada paksaan, dan
tidak dihalangi oleh hukum kodrat atau Gereja. Kesepakatan kedua mempelai ini
merupakan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan; sebab jika
kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada perkawinan. Kesepakatan di sini
berarti tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan,
dan kesepakatan ini harus bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat yang
datang dari luar.Jika kebebasan ini tidak ada, maka perkawinan dikatakan tidak
sah.
Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan, diterima dan dilaksanakan dihadapan
pastor/imam atau diakon yang bertugas atas nama Gereja untuk
memimpin upacara Perkawinan. Oleh karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini,
maka sakramen Perkawinan diadakan didalam liturgi resmi Gereja, dan
setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang
terikat dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anak-anak di dalam
Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah
mutlak perlu.
Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung
jawab, maka perjanjian Perkawinan ini harus didahului oleh persiapan
menjelang Perkawinan. Persiapan ini mencakup pengajaran tentang
martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-masing dan pelaksanaannya.
Dalam masa persiapan tersebut, calon mempelai juga diajak memahami
halangan-halangan yang membuat perkawinan tidak sah. Halangan-halangan
pernikahan antara lain: impotensi, hubungan darah, terikat dengan perkawinan
sebelumnya, dsb.
EVALUASI
DAN PERTANYAAN REFLEKTIF
1. Jelaskan mengapa perkawinan Katolik disebut
sebagai Sakramen!
2. Mengapa Kesetiaan merupakan hal yang paling
utama dalam perkawinan Katolik?
3. Jelaskan makna perjanjian dalam perkawinan Katolik!
4. Jelaskan pengertian consortium totius vitae!
5. Sebutkan dan jelaskan syarat-syarat
perkawinan katolik yang sah!
6. Menurut pemahaman Anda, mengapa dalam
perkawinan katolik pasangan suami istri yang mengalami permasalahan dalam
hidup perkawinan mereka tidak mudah untuk mengurus perceraian?
7. Tulislah sebuah surat untuk ayah/ibu mu
yang berisi mengenai ungkapan syukur atas cinta dan kasih yang kamu rasakan
dalam keluarga. Dan ungkapkan apa yang ingin kamu sampaikan kepadanya,
terutama mengenai kehidupan berkeluarga yang sedang kalian alami saat ini.
Harapan dan keinginanmu, mungkin juga keluhan dan usul mu untuk mereka!
|
D.
TANTANGAN
HIDUP BERKELUARGA
Hidup
berkeluarga di jaman modern ini mengalami berbagai tantangan yang semakin
kompleks. Tantangan yang paling dirasakan justru muncul dari dasar perkawinan
itu sendiri yaitu KOMUNIKASI. Menurut para tokoh pemerhati keluarga, komunikasi
dalam keluarga/kehidupan rumah tangga, antara suami-istri dan anak-anak semakin
berkurang karena kesibukan pekerjaan, dan terpisah oleh tempat yang jauh.
Dalam era globalisasi dan modernisasi yang kian marak ini membawah pengaruh
dan dampak baik yang positif maupun yang negatif dalam kehidupan
keluarga-keluarga kristiani. Kehidupan keluarga tidak bisa lepas dari pengaruh
nilai-nilai yang muncul dan yang dihidupinya.
Ada beberapa tantangan dan keperihatinan yang sedang terjadi saat ini:
1.
Komunikasi dalam Keluarga.
Di era teknologi yang maju dengan pesat dan canggih
saat ini, komunikasi dalam keluarga justru seringkali menjadi persoalan.
Masalah perselingkuhan yang berakhir dengan perceraian seringkali bermula dari
pola komunikasi yang salah dalam relasi suami istri. Bahkan dalam sebuah
keluarga, seringkali terjadi bahwa antara anggota keluarga jarang sekali
berkomunikasi. Ironisnya mereka semua memiliki alat komunikasi yang canggih
dengan banyak akun medsos untuk berkomunikasi. Tapi apa sebenarnya komunikasi
itu?
Berkomunikasi berarti menyampaikan pikiran,dan perasaan kita kepada orang lain.
Berkomunikasi tentang hal-hal yang sama-sama diketahui dan dirasakan akan
terasa jauh lebih mudah. Dalam berkomunikasi ada banyak hal yang harus
diperhatikan, antara lain saling mendengarkan dan saling terbuka. Mendengarkan:
Semua orang yang tidak tuli bisa mendengarkan. Tetapi yang bisa mendengar belum
tentu pandai mendengarkan. Mendengarkan suatu komunikasi harus dilakukan dengan
pikiran dan hati serta segenap indra diarahkan kepada si pembicara. Keterbukaan. Orang yang mau senantiasa
tumbuh sesuai dengan jaman adalah orang yang terbuka untuk menerima masukan
dari orang lain, merenungkannya dengan serius, dan mengubah diri bila perubahan
dianggapnya sebagai pertumbuhan kearah kemajuan. Terbuka untuk menyatakan dan
terbuka untuk mendengarkan. Terbuka untuk menyatakan diri dengan jujur, terbuka
pula untuk menerima orang lain sebagaimana adanya.
Seorang pastor dalam sebuah kotbahnya pernah
mengatakan bahwa keutuhan dan keharmonisan dalam keluarga bisa tetap terjaga bila
ada komunikasi yang baik, setidaknya masih ada 3 kata yaitu: tolong,
terima kasih dan maaf. Tiga kata itu merupakan
ungkapan kerendahan hati serta kerelaan menghargai semua anggota keluarga.
2.
Persoalan tentang Kontrasepsi,
Aborsi, dan Sterilisasi
Pemerintah
mempromosikan adanya program Keluarga Berencana (KB) dengan tujuan tercapainya
kesejahteraan dalam keluarga. Dengan program KB, kesehatan ibu dapat lebih
dijamin, relasi suami istri semakin kaya, taraf hidup lebih ditingkatkan,
pendidikan anak lebih terjamin dan tercapainya kesejahteraan masyarakat secara
umum.
Gereja
Katolik memandang program Keluarga Berencana (KB) dapat diterima. Namun, cara
melaksanakannya harus diserahkan sepenuhnya kepada tanggung jawab suami-istri,
dengan mengindahkan kesejahteraan keluarga. Gereja Katolik menyatakan bahwa KB
pertama-tama harus dipahami sebagai sikap tanggung jawab. Pelaksanaan
pengaturan kelahiran harus selalu memperhatikan harkat dan martabat manusia
serta mengindahkan nilai-nilai agama dan social budaya yang berlaku dalam
masyarakat. Keluarga katolik harus memperhatikan dan memahami penggunaan serta
cara kerja alat-alat yang digunakan dalam program KB. Misalnya alat-alat
kontrasepsi seperti kondom, suntik, pil KB dan IUD (spiral), harus benar-benar
dipahami cara kerja dan efek dan penggunaan alat tersebut.
”Sejauh
ini Gereja Katolik menganjurkan umat melaksanakan program KB dengan cara
pantang berkala (tidak melakukan persetubuhan saat masa subur) atau sering
disebut pula dengan istilah KB Alamiah. Dengan menerapkan KB Alamiah, pasangan
diharapkan untuk dapat lebih saling mengasihi dan memperhatikan. Pantang
berkala pada masa subur istri dapat diisi dengan mewujudkan kasih dengan cara
yang lebih sederhana dan bervariasi. Suami lebih mengenal istri dan peduli akan
kesehatan istri.
3.
Rapuhnya nilai kesetiaan dari
perkawinan katolik.
Di abad yang
serba praktis ini dengan arus hidup yang hedonisme, konsumeris, materialis ada
sebagian kelurga kristiani yang mengalami persoalan di dalam menghayati nilai-
nilai dasar perkawinan katolik. Ini berkaitan dengan penghayatan terhadap nilai
monogami (kesatuan) perkawinan dan kesetiaan yang utuh terhadap pasangan hidup.
Misalnya adanya perselingkuhan, praktek poligami bahkan sampai pada keputusan
untuk berpisah ketika suasana kelurga tidak harmonis.
4.
Kemerosotan nilai-nilai
penghayatan religius dalam keluarga,
Arus
hedonis, konsumerisme, dan materialis membawah dampak yang luar biasa bagi
penanaman dan penghayatan nilai-nilai religiusitas di dalam keluarga. Irama
hidup keluarga hanya disibukan dengan kegiatan yang jauh dari dari hal-hal
rohani. Misalnya menonton TV dan VCD, bermain HP, game online, dsb. Sehingga
aktivitas rohani berupa doa pribadi, doa bersama, dan sharing masalah iman
dalam keluarga sering terabaikan
5.
Beban ekonomi biaya tinggi yang
harus di hadapi oleh keluarga- keluarga moderen dewasa ini
Globalisasi
yang kuat ditandai dengan sistim persaingan kekuatan- kekuatan ekonomi antar
Negara dengan sistim pasar bebasnya yang membawah dampak dalam kehidupan
social, ekonomi keluarga dewasa ini. Hal ini harus membuat keluarga hidup
dengan biaya ekonomi tinggi. Ekonimi biaya tinggi ini terjadi di segala sector:
baik kebutuhan pokok, pelayanan jasa transportasi, pendidikan maupun berbagai
pelayanan public. Ekonomi dengan biaya tinggi sering menimbulkan tekanan baik
psikis maupun fisik yang bisa menjadi sumber kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam menghadapi
tantangan dan keperihatinan aktual saat ini, gereja mempunyai beberapa
harapan-harapan terhadap keluarga- keluarga kristiani, antara lain:
1. Keluarga yang mau di bangun harus
dipersiapkan dengan baik.
Maksudnya bahwa ada persiapan menjelang perkawinan yaitu:
a. Persiapan Jauh. Persiapan sejak
masa kanak-kanak terutama dengan pendidikan nilai, baik nilai manusiawi maupun
nilai-nilai kristiani pada khususnya.
b.
Persiapan
dekat. Hidup keluarga hendaknya disiapkan secara intensif sejak masa pacaran.
Pemuda dan pemudi yang dalam tahap pacaran harus di dampingi secara bijaksana
agar mereka dapat berpacaran dengan sehat. Hendaknya dalam masa pacaran mereka
diharapakan lebih mengenal dengan baik keperibadian dari dari pasanganya
masing-masing.
c.
Persiapan
akhir. Beberapa bulan menjelang pernikahan calon pengantin disiapkan secara
lebih intensif lewat kursus persiapan perkawinan, penyelidikan kanonik dan
pengumuman nikah.
2. Keluarga didasarkan pada perkawinan
yang sah
Hal ini antara lain berarti: bahwa ke dua mempelai harus mengawali hidup
berkeluarga mereka dengan upacara peneguhan perkawinan sesuai dengan hukum
gereja, seperti termuat dalam kitab hukum kanonik dari kanon 1108- 1123.
3. Keluarga menjadi komunitas hidup
dan kasih
Gereja berharap bahwa keluarga menjadi komunitas kehidupan dan kasih yang
ditandai oleh sikap hormat dan syukur terhadap anuhgerah kehidupan serta kasih
dari semua anggotanya.
Sumber:
1.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pendidikan Agama Katolik dan Budi
Pekerti SMA/SMK Kelas XII, Buku Guru, 2015
2.
Br. Urbanus, Msf.S.Ag dalam
msfmusafir.wordpress.com/2009/02/27/tantangan-dan-keperihatinan-yang-aktual-dalam-hidup-keluarga.
3.
http://bidan-raka.blogspot.co.id/2010/06/kb-dalam-pandangan-gereja-katolik.html
EVALUASI DAN PERTANYAAN REFLEKTIF
1.
Sekarang
ini kasus-kasus perselingkuhan dan perceraian marak terjadi di lingkungan
sekitar kita, bahkan diantara keluarga kita sendiri. Menurut Anda apa
penyebab kasus-kasus tersebut dan bagaimana mencegah terjadinya kasus
perselingkuhan dan perceraian tersebut!
2.
Jelaskan
pandangan Gereja Katolik mengenai Keluarga Berencana dan metode apa yang
dianjurkan oleh Gereja Katolik dalam melaksanakan program KB!
3.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa hubungan seks di luar
nikah/sebelum nikah adalah hal yang biasa terjadi. Bahkan di kalangan kaum
muda, seks pada saat berpacaran sudah menjadi trend. Tetapi para psikolog dan orangtua berpendapat bahwa seks
sebelum nikah akan mengurangi kualitas pernikahan dan membuat pernikahan
tidak harmonis/bertahan lama. Apalagi pasangan saat menikah bukanlah orang
yang sama pada saat berpacaran sehingga berdampak pada kurangnya kesetiaan
suami istri. Bagaimana pendapat Anda
mengenai hal ini?
|
E.
PANGGILAN HIDUP MEMBIARA
Dalam kehidupan umat beragama katolik diakui dan
diyakini bahwa hidup membiara merupakan panggilan hidup. Hidup membiara
merupakan salah satu bentuk hidup selibat (tidak menikah) yang dijalani oleh
mereka yang dipanggil untuk mengikuti Kristus secara tuntas/total. Dengan kata
lain orang yang menjalani hidup selibat adalah orang
yang terpanggil untuk mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan.
Menjadi seorang Pastor, Suster, atau Bruder merupakan jawaban atas panggilan
Tuhan untuk melayani dan menguduskan dunia. Contoh sederhana dapat kita
lihat dalam lingkungan sekolah kita. Sekolah kita berlindung pada seorang tokoh
bernama Santa Theresia, seorang suster yang dilahirkan di kota Alencon,
Perancis pada 2 Januari 1873. Teladan hidupnya berupa kesederhanaan dan CINTA
menjadikan kehidupan santa Theresia menjadi bermakna dan berkat bagi orang
lain. Dalam menjalankan misi pelayanan pendidikan, sekolah-sekolah Theresiana juga
dipimpin oleh seorang pastor yaitu Rm. Marcellinus Roselawanto, Pr sebagai
Direktur dan Bruder Yulius Suratno, CSA sebagai Wakil Direktur. Mereka
menjalani hidup selibat (tidak menikah), serta menghayati tiga nasihat Injil
yaitu kemurnian, ketaatan dan kemiskinan.
Hidup membiara ditandai dengan pengucapan kaul
(janji setia), yaitu kaul kemiskinan, kaul kemurnian dan kaul ketaatan.
Dengan mengucapkan kaul kemiskinan, orang yang hidup membiara melepaskan haknya
untuk memiliki harta benda duniawi. Dengan cara ini mereka lebih bisa
memusatkan hidupnya semata-mata demi melayani Tuhan dan tidak lekat pada harta
benda duniawi. Hal ini bukan berarti mereka tidak boleh menggunakan/memiliki
harta benda duniawi, tetapi menggunakan sewajarnya demi mendukung pelayanannya.
Dengan kaul ketaatan, seorang yang hidup membiara memutuskan untuk
taat seperti Kristus yang taat pada kehendak Bapa-Nya. Ketaatan ini diwujudkan
dengan melepaskan kemerdekaannya, kehendak bebasnya dan mengikuti kehendak
pimpinan/pembesar dalam konggregasi. Dengan kaul kemurnian orang yang
hidup membiara melepaskan haknya untuk hidup berkeluarga. Melalui hidup selibat
(tidak menikah), mereka mengungkapkan kesediaan untuk mengikuti dan meneladan
Kristus sepenuhnya serta membaktikan hidupnya secara total demi terlaksananya
Kerajaan Allah.
F.
PANGGILAN PROFESI/KARYA
Manusia
adalah mahkluk pekerja. Tanpa bekerja manusia kehilangan jati dirinya sebagai
manusia. Maka apapun pekerjaan manusia, asalkan halal, orang akan merasa
dirinya bernilai dihadapan sesamanya. Sebaliknya orang-orang yang berada di
usia produktif namun tidak bekerja akan merasa rendah diri dalam pergaulan
masyarakat. Dalam ajaran agama Katolik, manusia diciptakan oleh Allah dan diberi mandat untuk mengelola bumi.
Dengan ini, hendaknya manusia menyadari, ketika ia melakukan pekerjaan, ia
berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan. Itu berarti bahwa pekerjaan manusia
mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah.
Arti
Kerja:
Kerja
adalah setiap kegiatan manusia yang diarahkan untuk kemajuan manusia, baik
kemajuan jasmani maupun rohani. Kerja memerlukan suatu pemikiran. Kerja dengan
sadar harus diarahkan kepada suatu tujuan tertentu. Pekerjaan merupakan suatu
keistimewaan mahkluk yang berakal budi. Sebab, hanya manusialah yang dengan
sadar dan bebas dapat mengarahkan kegiatannya kepada suatu tujuan tertentu.
Makna
Kerja:
Makna
ekonomis,
bekerja dipandang sebagai pengerahan tenaga untuk menghasilkan sesuatu yang
diperlukan atau diinginkan seseorang atau masyarakat. Dalam hal ini dibedakan
menjadi pekerjaan produktif (pertanian, pertukangan, pabrik, dsb), pekerjaan
distributive (perdagangan), dan pekerjaan jasa (guru, dokter, perawat,
dsb). Makna sosiologis, kerja
merupakan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan sarana interaksi antar masyarakat.
Makna
antropologis, kerja memungkinkan manusia untuk membina dan membentuk
diri dan pribadinya.
Tujuan kerja
1) Mencari nafkah. Kebanyakan orang bekerja untuk mencari nafkah, mengembangkan kehidupan jasmaninya dan mempertahankannya. Orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, untuk memperoleh kedudukan serta kejayaan ekonomis, yang menjamin kehidupan jasmaninya untuk masa depan. Nilai yang mau dicapai ini bersifat jasmani.
1) Mencari nafkah. Kebanyakan orang bekerja untuk mencari nafkah, mengembangkan kehidupan jasmaninya dan mempertahankannya. Orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, untuk memperoleh kedudukan serta kejayaan ekonomis, yang menjamin kehidupan jasmaninya untuk masa depan. Nilai yang mau dicapai ini bersifat jasmani.
3) Memajukan teknik dan kebudayaan. Nilai yang mau dicapai ini
lebih bersifat rohaniah. Dengan bekerja orang dapat memajukan salah satu cabang
teknologi atau kebudayaan, dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling
tinggi.
4) Menyempurnakan
diri sendiri. Dengan bekerja
manusia lebih menyempurnakan dirinya sendiri. Ia menemukan harga dirinya. Atau
lebih tepat: ia mengembangkan kepribadiannya. Dengan kerja, manusia lebih
memanusiakan dirinya
rangkumannya mantab
BalasHapussanagat bermanfaat
BalasHapus