C. PERKAWINAN DALAM TRADISI KATOLIK
Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita
dalam agama apapun merupakan suatu peristiwa kehidupan yang sangat sakral.
Karena itu tidak boleh dinodai atau dikhianati oleh siapapun dengan motif
apapun. Sayang sekali dalam masyarakat, kita sering mendengar atau menyaksikan
pertikaian antara pasangan suami-istri yang menimbulkan keretakan hubungan
antar mereka. Tak jarang relasi suami-istri yang sangat pribadi itu dibawa ke
ranah publik, terutama para pesohor, entah artis, politisi, dan tokoh
masyarakat dijadikan konsumsi publik melalui infotainment di televisi atau
media sosial. Pemberitaan media mengenai kasus-kasus perkawinan dengan berbagai
latar belakangnya itu, dapat menciptakan suatu pandangan dalam masyarakat bahwa
perceraian suami-istri adalah hal yang biasa-biasa saja.
Bertitik tolak dari kasus-kasus perkawina macam itu,
maka kita perlu memahami hakekat perkawinan itu sendiri. Hakikat perkawinan
adalah persekutuan pria-wanita atas dasar cinta. Perkawinan juga harus dilihat
sebagai panggilan Allah, suatu tanda dari cinta Allah kepada manusia dan cinta
Kristus kepada gereja-Nya. Tak dapat disangkal bahwa banyak perkawinan menjadi
kandas karena orang tidak pernah menganggapnya sebagai sebuah panggilan
sehingga mereka tidak pernah mempersiapkan dengan sungguh-sungguh. Salah satu
persiapan ialah usaha mengenal dan memahami arti dan makna perkawinan, tujuan
serta sifat-sifat perkawinan, sehingga seseorang dapat menjalani panggilan
hidup ini dengan sadar dan tepat.
Gereja Katolik secara tegas mengajarkan bahwa
Perkawinan Katoik adalah sakramen, yaitu sebagai tanda cinta
kasih Allah. Oleh karena itu setiap pasangan suami-istri harus menjaga kesucian
perkawinan. Karena perkawinan itu merupakan tanda (sakramen) dari cinta kasih
Allah dan Cinta Kristus, maka perkawinan bersifat tetap, tak dapat diceraikan,
utuh, personal dan monogam. Sifat dasar perkawinan yang tidak dapat diganggu
gugat adalah KESETIAAN. Kesetiaan merupakan sikap dasar yang harus dihayati
oleh pasangan yang telah menerima sakramen perkawinan itu. Kesetiaan berarti
suami-istri hidup bagi pasangannnya, menyerahkan diri secara total hanya kepada
pasangannya, selalu dan dalam segala situasi. Kesetiaan adalah hal yang sangat
utama dalam kehidupan perkawinan kristiani.
Perkawinan
menurut Kitab Hukum Kanonik.
Kitab Hukum Kanonik memuat hukum-hukum, aturan-aturan
dalam perkawinan Katolik. Dalam kanon 1055 diungkapkan paham dasar tentang
perkawinan gerejawi, yaitu:
1. Perjanjian Perkawinan
Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant, foedus). Dalam tradisi
Yahudi, perjanjian berarti suatu “agreement” (persetujuan) yang membentuk
(menciptakan) suatu hubungan sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan
mengikat sama seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai hubungan
darah. Konsekwensinya, hubungan itu tidak berhenti atau berakhir, sekalipun
kesepakatan terhadap perjanjian itu ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas
dari suami-istri, suatu perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar
pribadi seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan fisik.
2. Kebersamaan Seluruh Hidup
Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae.
“Consortium”: con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan
senasib. Totius vitae = seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh
perjanjian perkawinan.Suami istri berjanji untuk menyatukan hidup mereka secara
utuh hingga akhir hayat.
3.
Perkawinan sebagai Sakramen
Perkawinan
Kristiani bersifat sakramental.Bagi pasangan yang telah dibabtis, ketika mereka
saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan mereka menjadi
sah sekaligus sakramen
4.
Antara Pria dan Wanita
Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan
diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling
memperkaya. Menjadi “satu daging” (Kej 2:24).
Sifat –Sfat Hakiki
Perkawinan
Kanon 1056 mengatakan: “Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam
dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh
kekukuhan khusus karena sakramen. Sifat-sifat hakiki perkawinan, yaitu monogami dan sifat tak terceraikan
ikatan perkawinan, termasuk paham Perkawinan Katolik. Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam
Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik. Kedua sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawian
kedua tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah diceraikan
secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena Gereja Katolik tidak
mengakui validitas atau efektivitas perceraian itu. Dengan demikian suami istri
yang telah cerai itu di mata Gereja masih terikat perkawinan dan tak dapat
menikah lagi dengan sah.
Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci
Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama,
laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27).Hawa
diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman
‘penolong’ yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat
bersatu menjadi satu ‘daging’ (Kej 2:24). Jadi persatuan laki-laki danperempuan
telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada
mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah
itu….” (Kej 1:28).Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami
(satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia,
kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi
manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu:
“Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya
sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan perempuan yang
telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk
10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan
oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang
menjadi rencana Allah pada awalnya (Mat 19:8).Jadi, perkawinan
antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah.
Allah adalah Kasih ( Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah
ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita
mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang
merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas).
Syarat Perkawinan
Katolik Yang Sah
Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui
beberapa syarat untuk menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah:
Syarat pertama. Perkawinan Katolik yang sah adalah jika ada perjanjian/kesepakatan.
Perkawinan yang diikat oleh seorang pria
dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat dengan bebas dan sukarela,
dalam arti tidak ada paksaan, dan tidak dihalangi oleh hukum kodrat
atauGereja. Kesepakatan kedua mempelai ini merupakan syarat mutlak untuk perjanjian
Perkawinan; sebab jika kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada
perkawinan. Kesepakatan di sini berarti tindakan manusiawi untuk saling
menyerahkan diri dan menerima pasangan, dan kesepakatan ini harus bebas dari
paksaan atau rasa takut yang hebat yang datang dari luar.Jika kebebasan ini
tidak ada, maka perkawinan dikatakan tidak sah.
Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan, diterima dan
dilaksanakan dihadapan pastor/imam atau diakon yang bertugas atas
nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan. Oleh karena kesatuan mempelai
dengan Gereja ini, maka sakramen Perkawinan diadakan didalam liturgi resmi
Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status
Gereja, yang terikat dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anak-anak
di dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para
saksi adalah mutlak perlu.
Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan
bertanggung jawab, maka perjanjian Perkawinan ini harus didahului oleh persiapan
menjelang Perkawinan. Persiapan ini mencakup pengajaran tentang
martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-masing dan pelaksanaannya.
Dalam masa persiapan tersebut, calon mempelai juga diajak memahami
halangan-halangan yang membuat perkawinan tidak sah. Halangan-halangan
pernikahan antara lain: impotensi, hubungan darah, terikat dengan perkawinan
sebelumnya, dsb.
Sumber:
1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII, Buku Siswa, 2015.
2. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII, Buku Guru, 2015.
3.Gambar: www.semarangwedding.com
4. www.imankatolik.or.id
5. www.paroki-blokb.org
Sumber:
1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII, Buku Siswa, 2015.
2. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII, Buku Guru, 2015.
3.Gambar: www.semarangwedding.com
4. www.imankatolik.or.id
5. www.paroki-blokb.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar